Perubahan Iklim Akan Persulit Ekonomi Asia Tenggara
Perubahan iklim tak mengenal diskriminasi, tetapi beberapa wilayah di dunia akan lebih menderita daripada yang lain. Dan Asia Tenggara berada di titik tembak langsung.
Seiring perubahan iklim meningkatkan kekuatan dan frekuensi badai dan mendorong naik suhu, kita akan melihat perubahan itu memainkan peran yang lebih sentral dalam krisis ekonomi, migrasi massal, ketidakstabilan politik, kerusuhan sipil, kerusakan ekosistem, dan ketidakamanan persediaan pangan dan air.
Penelitian mengungkapkan banyak alasan—beberapa alasan sudah jelas, beberapa alasan belum—seperti bagaimana perubahan cuaca suatu negara dapat berdampak pada penduduk lokal dan ekonomi.
Perubahan iklim dapat merugikan ekonomi global senilai miliaran, dengan sebagian besar perkiraan menempatkan angka pada 1 hingga 2 persen dari GDP global pada tahun 2050. Untuk Asia Tenggara, dampak yang diproyeksikan setara dengan 3 persen dari PDB regional.
Jika strategi dan investasi mitigasi tidak diberlakukan, gangguan jangka panjang diperkirakan akan menimpa pemerintah, perusahaan dan masyarakat.
Meningkatnya suhu kemungkinan akan melemahkan ekspor di kawasan ini dan memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada pasokan listrik yang sebelumnya sudah lemah, di saat negara-negara mencoba untuk tetap tenang di tengah panasnya udara.
Data Verisk Maplecroft mengidentifikasi ekonomi Asia Tenggara dan Afrika diperkirakan akan menghadapi dampak terbesar dari peningkatan suhu selama 30 tahun ke depan, dan salah satu efeknya akan mencakup pengurangan dalam pendapatan ekspor.
Sebelum pertengahan abad ini, Asia Tenggara dapat mengalami penurunan 16 persen dalam kapasitas tenaga kerja karena meningkatnya tingkat tekanan panas, dan Singapura dan Malaysia diproyeksikan akan menjadi negara-negara yang terkena dampak paling besar.
Tekanan panas dapat mengurangi produktivitas pekerja dengan menyebabkan dehidrasi dan kelelahan, dengan pekerja di sektor pertanian, minyak dan gas, dan manufaktur di antara yang paling rentan karena melemahnya intensitas kerja.
Dengan menggunakan nilai ekspor saat ini, yang tidak mempertimbangkan pertumbuhan atau diversifikasi sektor ekspor di masa mendatang, penurunan kapasitas tenaga kerja di masa depan dapat menyebabkan hilangnya sekitar 78 miliar dolar Amerika per tahun dalam pendapatan ekspor Asia Tenggara.
Sektor manufaktur di Vietnam dan Thailand—eksportir utama komponen mesin dan listrik—akan mencapai hampir sepertiga dari angka itu.
Memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu akan memakan biaya yang mahal. Contohnya, instalasi sistem pendingin.
Perusahaan tidak hanya perlu memperhitungkan biaya produksi tambahan untuk membayar pendinginan, tetapi juga beban tambahan yang ditimbulkan pada infrastruktur listrik lokal dan peningkatan risiko pemadaman listrik.
Di tengah gelombang panas yang lebih parah dan berkepanjangan, serta urbanisasi yang merajalela, penggunaan energi global untuk pendinginan diperkirakan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2050. Pada saat itu, populasi di kota-kota akan bertambah 2,7 miliar, yang akan meningkatkan tekanan pada infrastruktur listrik.
Lihat saja pemadaman listrik di Singapura pada 18 September—dan bayangkan jika pemadaman listrik lebih sering terjadi. Tingkat urbanisasi sangat tinggi di negara berkembang, banyak di antaranya berada di wilayah yang diperkirakan akan mengalami pemanasan terbesar.
Infrastruktur listrik di Asia Tenggara sudah termasuk infrastruktur yang terlemah secara global. Rata-rata, negara-negara di kawasan itu kehilangan 18 persen pasokan selama distribusi dan transmisi, dan bisnis rata-rata mengalami delapan kali pemadaman listrik per bulan.
Dengan memproyeksikan 1,5 derajat Celcius pemanasan di Asia Tenggara pada 2050, kami memperkirakan permintaan pendinginan meningkat 22 persen di Malaysia, Indonesia dan Thailand, dan 20 persen di Filipina dan 17 persen di Singapura.
Tanpa peningkatan pada infrastruktur listrik, beban tambahan pada jaringan regional kemungkinan akan mengakibatkan lebih seringnya pemadaman listrik.
Perjanjian Perubahan Iklim Paris, yang mulai berlaku pada tahun 2016, berupaya untuk membatasi kenaikan suhu global di “bawah” dua derajat Celcius.
Mengingat betapa lambatnya kita dalam mengurangi emisi karbon secara global, planet ini terkunci pada setidaknya satu derajat Celcius pemanasan pada pertengahan abad; dan setiap tahun kita gagal membuat pengurangan emisi karbon yang signifikan dan berkelanjutan, tantangannya menjadi semakin sulit.
Jadi, ketika suhu naik, insinyur, petugas kesehatan profesional dan ekonom akan melanjutkan pertempuran mereka untuk memahami risiko terkait dan mencari solusi untuk mengimbangi efek terburuk dari peningkatan suhu.
Beberapa pemerintah dan bisnis telah mulai berinvestasi dalam langkah-langkah adaptasi perubahan iklim, seperti dinding keras dan tanggul batu yang membentuk 70 persen garis pantai Singapura. Namun, PBB memperkirakan biaya global penuh bisa mencapai US$500 miliar per tahun pada 2050.
Perkiraan terbaru mengemukakan pembiayaan tahunan saat ini di lebih dari US$20 miliar. Dengan negara-negara Asia Tenggara di antara negara-negara yang akan merugi paling banyak karena perubahan iklim, kesenjangan yang luas ini kemungkinan akan membuat pemerintah daerah itu menderita.
SUMBER : MATAMATA POLITIK
GAMBAR : Blog ACT
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]