Ratu-ratu Sirkuit Jalanan, Tak Lagi Dihitung Sebelah Tangan
Nova Nur Rafadila mungkin tak pernah menyangka Instagramnya kini diikuti 12 ribu orang. Ia bukan selebgram dan namanya pun minim muncul di media mainstream. Nova merebut perhatian para follower dengan unjuk gigi di sirkuit jalanan.
Dengan belasan ribu follower, Nova termasuk pebalap yang punya banyak penggemar. Padahal karier balapnya di road race baru berumur dua tahun, terhitung sejak 2017.
Mendapatkan banyak pengikut jadi salah satu nilai plus yang didapatkan perempuan yang di atas lintasan dipanggil dengan nama Nova Cibey tersebut. Namun, bukan berarti semuanya berjalan mulus-mulus saja.
Banyak penggemar saat beraksi di lintasan balap ternyata membuat Cibey tidak jarang dimusuhi ketika berada di lingkungan sekolah. Menurut Nova, sebagian temannya ada yang mencibir aktivitasnya di dunia balap. Itu tidak lain karena pebalap 18 tahun itu kerap mendapat dispensasi dari pihak sekolah saat mengikuti balapan.
“Suka ada saja teman-teman yang nyinyir dengan saya kalau ikut balapan dan dapat dispensasi dari sekolah. Mereka bilang, ‘Dia [Nova] mah enak saja balapan’,” ucap Nova.
“Tapi saya sudah kenal sama pihak-pihak di sekolah, jadi saya biarkan saja.”
Pihak sekolah bukan tanpa alasan dalam memberikan izin kepada gadis asal Bandung itu. Nova dianggap salah satu pebalap berprestasi sehingga mendapatkan dispensasi, baik saat balapan maupun saat berlatih setiap Selasa dan Jumat.
“Kalau dapat piala dari balapan, pialanya juga suka diberikan ke sekolah,” ujar dia.
Kisah Nova adalah sepenggal cerita tentang pebalap-pebalap perempuan Tanah Air. Kehadiran mereka saat ini bukan lagi hal mencengangkan, karena ajang balapan motor kini memang bukan lagi milik kaum adam. Asal lihai mengendalikan stang motor dan punya nyali meliuk-liuk menyalip lawan, siapapun bisa berkompetisi. Entah itu bocah yang masih berusia 10 tahun atau perempuan.
Salah satu pebalap wanita senior yang juga Sekretaris Olahraga Sepeda Motor IMI Pusat, Inuk Hestiningrum, bercerita bahwa pebalap wanita kali pertama muncul pada 1994 saat dirinya dan beberapa wanita lain tampil di lintasan balap.
Dalam ingatan Inuk, hanya ada satu pebalap wanita di setiap provinsi yang tersebar di Pulau Jawa. Kehadiran pebalap wanita di dunia balap motor Indonesia sempat naik-turun.
Sejak 1994 hingga 1997, pebalap road race wanita di Indonesia diperkirakan hanya berjumlah 3-4 orang di setiap balapan.
“Antara 1997 sampai 1998 pebalap wanitanya habis. Tidak ada lagi. Di 1998 sempat ada lagi sekitar 10-15 pebalap di tingkat kejurda, itu pun balapan one make race dari Yamaha,” kata Inuk.
Ibu tiga anak itu berpikir, pada akhir era 1990-an sebagian wanita menilai balap motor merupakan olahraga kaum adam, sehingga minim partisipasi perempuan.
Di kejuaraan road race 2003, peserta pebalap wanita hanya 5-6 orang. Karena keterbatasan jumlah itu, Inuk dan pebalap wanita lainnya kerap beradu kecepatan dengan pebalap pria dalam satu kelas.
“Lalu sekitar tahun 2004-2005 pebalap wanitanya habis lagi. Tahun 2005 baru muncul kembali. Di tahun itu juga saya membuka klub untuk pebalap wanita, Inuk Blazer Ladies Biker Club namanya. Akhirnya saya dan pebalap wanita lain berjalan dengan komunitas itu,” tutur Inuk.
Para pebalap wanita Indonesia baru secara konsisten tampil dan berkompetisi pada 2008. Lagi-lagi Inuk yang jadi pendobrak. Ia berbicara dengan promotor kejuaraan balap internasional, Helmy Sungkar, agar ada kelas khusus perempuan.
Upaya itu berhasil dan melahirkan balapan khusus wanita pertama di Indonesia dan selanjutnya berkembang pada 2011 dengan kejuaraan Atang Sanjaya. Saat ini, terdapat sekitar 20-25 pebalap perempuan bersaing di kelas matik.
Inuk sendiri sebenarnya menyayangkan pebalap wanita masa kini masih bergelut dengan kelas matik. Padahal, jika para pebalap tersebut lebih memberanikan diri tampil di kelas bebek, karier mereka bisa lebih menjanjikan.
“Kalau motor bebek itu kan pake gigi. Jadi kami ingin pebalap wanita itu bisa tampil di ajang internasional juga,” Inuk menjelaskan.
Di atas lintasan perlakuan terhadap pebalap pria dan perempuan hampir tak beda. Panitia dan penonton memandang sama rata para pebalap yang tampil. Dengan demikian, para ratu balapan tetap bisa fokus memacu sepeda motornya untuk bisa menjadi yang tercepat di garis finis tanpa risih mendapat pelecehan dari penonton atau panitia kaum adam.
“Alhamdulillah tidak ada [pelecehan], karena saya selalu didampingi orang tua. Kalau ayah tidak sibuk kerja, pasti menyusul nonton langsung. Penonton ‘jahil’ [genit] juga tidak ada, semua selalu menyapa,” ucap Nova.
Komentar senada juga dilontarkan Silvia Ubey yang mengaku cukup nyaman menjadi pebalap wanita sejauh ini.
“Mulai dari tim, penonton, pebalap wanita, sampai penggemar semuanya saling memberikan dukungan. Saya tidak pernah mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan selama menjadi pebalap,” tutur Silvia.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar :OtomotifZone.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]