Ngeri Lihat Harga Emas, Hampir Setiap Hari Turun Gaes!

Harga emas turun terus beberapa hari ini dan semakin menjauhi level US$ 1.800/troy ons. Padahal inflasi menunjukkan adanya tanda-tanda kenaikan.

Di arena pasar spot harga emas melemah 0,21% ke US$ 1.767,7/troy ons pada perdagangan pagi hari ini, Jumat (30/4/2021). Di sepanjang minggu ini harga emas tercatat sudah melemah 0,7%.

Setelah tembus US$ 1.793/troy ons, tren harga emas terus menerus turun. Tekanan pada emas juga terjadi seiring dengan kenaikan serangan gelombang kedua Covid-19 di India.

India merupakan konsumen emas terbesar di dunia. Saat lockdown akibat kenaikan kasus infeksi yang drastis, permintaan perhiasan dari emas di India mengalami penurunan.

Sebagai informasi, permintaan emas untuk perhiasan di Negeri Bollywood anjlok 35% (yoy). Jika pada 2019 permintaan emas mencapai 690,4 ton, permintaan si logam kuning tahun lalu hanya 446,4 ton.

Kombinasi kenaikan harga yang tajam dibarengi dengan daya beli masyarakat yang rendah akibat resesi membuat permintaan menurun. Meksipun permintaan untuk perhiasan menurun, tetapi permintaan emas untuk investasi meningkat tahun lalu.

Hanya saja jelang akhir tahun 2020, risk appetite yang semakin membaik di tengah likuiditas global berlimpah dan kabar positif vaksin membuat para investor dan spekulan lebih agresif memburu cuan dan aset berisiko seperti cryptocurrency Bitcoin.

Ada outflow besar-besaran dari aset berbasis emas dan investor memindahkannya ke mata uang kripto. Hal tersebut membuat harga emas tertekan dan sebaliknya mendorong harga Bitcoin terkerek semakin tinggi.

Alasan emas memburu kripto salah satunya adalah merupakan aset keuangan baru yang dinilai bisa menggantikan emas untuk lindung nilai (hedging) terhadap inflasi.

Di tengah kebijakan bank sentral global yang ultra akomodatif dengan suku bunga rendah dan kebijakan cetak uang yang menggembungkan neraca bank sentral hingga US$ 12 triliun, ekspektasi inflasi meningkat.

Inflasi yang tinggi menjadi musuh bagi setiap orang karena menurunkan nilai mata uang serta menggerus daya beli hingga return riil dari investasi. Indikator kenaikan inflasi juga tampak dari data personal consumption expenditure (PCE) AS yang digunakan The Fed sebagai salah satu sasaran target kebijakan moneternya.

Pada Februari lalu, angka PCE tumbuh sebesar 1,4% secara tahunan. Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%. Namun, konsensus ekonom dan analis dalam polling Tradingeconomics memperkirakan angka PCE Maret akan berada di level 1,8% (tahunan).

Lonjakan angka PCE itu kian mendekati batas 2% yang secara historis menjadi acuan The Fed dalam menetapkan suku bunga. Sekalipun bank sentral telah menegaskan bahwa angka 2% bukan lagi harga mati dalam penentuan suku bunga acuan, tetapi logika pasar tentu berbeda. Inflasi 2% akan membuat yield 1,6% menjadi tidak masuk akal.

Jika angka PCE tersebut terkonfirmasi 1,8%, maka ada peluang kenaikan imbal hasil setidaknya di angka yang sama. Kenaikan imbal hasil membuat biaya peluang memeng aset tak produktif seperti emas menjadi naik dan kurang menarik.

Saat ini imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sudah kembali ke 1,65%. Ini yang harus diwaspadai oleh investor pemegang emas.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Kompas.com

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *