Jangan Buru-buru Dijual, Harga Emas Naik Lagi Gaes!
Harga emas dunia kembali melesat. Ancaman resesi perekonomian global yang semakin nyata membuat investor semakin gencar memburu si logam mulia.
Pada perdagangan hari Kamis (15/9/2019) pukul 09:00 WIB, harga emas kontrak pengiriman Desember di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat 0,29% ke level US$ 1.532,2/troy ounce (Rp 689.736/gram).
Pada posisi tersebut, harga emas merupakan yang tertinggi sejak April 2013 atau enam tahun lalu.
Adapun harga emas di pasar spot juga naik 0,46% menjadi US$ 1.523/troy ounce (Rp 685.594/gram).
Di sesi perdagangan hari sebelumnya (14/8/2019) harga emas COMEX dan spot menguat masing-masing sebesar 0,9% dan 1%.
Ketakutan investor akan kondisi perekonomian global kembali mencuat setelah melihat data imbal hasil (yield) dari obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).
Pada dini hari tadi, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun ada di level 1,974%. Sementara yang bertenor 10 tahun sebesar 1,5826%. Dari data tersebut terlihat bahwa yield obligasi jangka pendek (2 tahun) lebih tinggi ketimbang jangka panjang (10 tahun), atau biasa disebut dengan inversi.
Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007. Pelaku pasar membaca fenomena tersebut sebagai sinyal-sinyal resei. Benar saja, tidak lama berselang, tepatnya pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan global.
Inversi menunjukkan bahwa risiko dalam jangka pendek lebih besar dibanding jangka panjang. Investor meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk investasi jangka pendek karena risikonya besar.
Karenanya, investi kerap dikaitkan dengan pertanda resesi.
Resesi sendiri merupakan kondisi dimana perekonomian tumbuh negatif alias terkontraksi dalam dua kuartal beruntun di tahun yang sama.
Inversi tersebut muncul bukan tanpa alasan.
Pasalnya sejumlah data indikator ekonomi di beberapa negara besar terbilang buruk.
Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju terlemah sejak Februari 2002.
Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY.
Tak berhenti sampai di situ, pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal II-2019 hanya sebesar 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.
Untuk keseluruhan 2019, pemerintah Jerman memperkirakan ekonomi tumbuh 0,5%. Tahun lalu, ekonomi Jerman tumbuh 1,5%.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Terbukti pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY.
Semetara nasib perang dagang AS-China masih tak pasti. Memang sudah ada kabar baik dimana degelasi kedua negara akan kembali melakukan dialog melalui sabungan telepon dua minggu lagi.
Namun tetap saja, banyak pihak pesimis kesepakatan dapat dibuat dalam waktu dekat.
Bila perang dagang terus berlarut-larut dan bahkan semakin panas, maka perekonomian global akan terus tertekan. Ini bisa terjadi karena AS dan China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang sangat mempengaruhi rantai pasokan global.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : SINDOnews
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]