Resesi Global Picu Harga Minyak Dunia Nyungsep Lagi

Setelah anjlok lebih dari 3%, harga minyak mentah dunia masih lanjut melemah.

Pada perdagangan hari Kamis (15/8/2019) pukul 09:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober melemah 0,67% ke level US$ 59,08/barel.

Sementara harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) kontrak pengiriman September terkoreksi 0,43%% menjadi US$ 54,99/barel.

Sehari sebelumnya (14/8/2019) harga Brent dan WTI ditutup amblas masing-masing sebesar 3%% dan 3,3%%.

Ketakutan investor akan terjadinya resesi perekonomian global kembali menjadi sentimen yang menekan harga minyak.

Pasalnya sejumlah data indikator ekonomi di beberapa negara besar terbilang buruk.

Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju paling lambat sejak Februari 2002.

Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY.

Tak berhenti sampai di situ, pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal II-2019 hanya sebesar 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.

Untuk keseluruhan 2019, pemerintah Jerman memperkirakan ekonomi tumbuh 0,5%. Tahun lalu, ekonomi Jerman tumbuh 1,5%.

Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Terbukti pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY.

Nasib perang dagang AS-China juga masih tak pasti. Memang sudah ada kabar baik dimana delegasi kedua negara akan kembali melakukan dialog melalui sabungan telepon dua minggu lagi.

Namun tetap saja, banyak pihak pesimis kesepakatan dapat dibuat dalam waktu dekat.

Bila perang dagang terus berlarut-larut dan bahkan semakin panas, maka perekonomian global akan terus tertekan. Ini bisa terjadi karena AS dan China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang sangat mempengaruhi rantai pasokan global.

Di sisi lain, investor juga melihat terjadinya inversi pada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS jangka pendek dan jangka panjang.

Pada dini hari tadi, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun ada di level 1,974%. Sementara untuk tenor 10 tahun sebesar 1,5826%. Dari data tersebut terlihat bahwa yield obligasi jangka pendek (2 tahun) lebih tinggi ketimbang jangka panjang (10 tahun), atau biasa disebut dengan inversi.

Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007. Pelaku pasar membaca fenomena tersebut sebagai sinyal-sinyal resesi. Benar saja, tidak lama berselang, tepatnya pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan global.

Resesi perekonomian global tentu bukan kabar baik di pasar minyak mentah. Pasalnya pertumbuhan permintaan energi, termasuk minyak, akan berjalan searah dengan pertumbuhan ekonomi.

Sentimen negatif juga datang dari Amerika Serikat (AS). Kemarin malam Energy Information Administration (EIA) mengumumkan stok minyak mentah AS untuk minggu yang berakhir pada 9 Agustus 2019 naik sebesar 1,6 juta barel. Padahal sebelumnya konsensus yang dihimpun Reuters memprediksi ada penurunan stok sebesar 2,8 juta barel pada periode yang sama.

Kombinasi antara penurunan permintaan dengan kenaikan stok menjadi beban berat pada pasar minyak mentah. Sesuai hukum ekonomi, harga akan tertekan kala ada penurunan permintaan dan peningkatan pasokan.

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Politik

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *