Dihantam Sentimen Perang Dagang AS-China, Harga Minyak Amblas
Harga minyak mentah dunia kembali terkoreksi akibat disengat sentimen perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.
Pada perdagangan hari Senin (5/8/2019) pukul 09:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober melemah 0,81% ke level US$ 61,39/barel.
Sementara harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) kontrak pengiriman September terkoreksi 0,41% menjadi US$ 55,43/barel.
Pada akhir pekan lalu, Brent dan WTI ditutup melesat masing-masing sebesar 2,3% dan 3,17% akibat ketegangan yang kian meningkat di Timur Tengah.
Namun kini, pelaku pasar mulai terpengaruh kekhawatiran perlambatan ekonomi global yang akan diakibatkan oleh eskalasi perang dagang AS-China.
Sebagaimana yang telah diketahui, pada hari Kamis (1/8/2019) Presiden AS, Donald Trump, mengatakan akan memberi bea impor 10% pada produk asal China senilai US$ 300 miliar. Produk-produk tersebut sebelumnya bukan merupakan objek dari perang dagang.
“Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%,” tulis Trump melalui Twitter.
Memang, pengenaan tarif belum berlaku secara efektif. Bahkan seorang sumber yang berhasil dimintai keterangan oleh Wall Street Journal (WSJ) mengatakan bahwa Trump mengambil keputusan eskalasi tarif di tengah penolakan hampir seluruh penasihatnya.
Sumber tersebut mengatakan seluruh penasihat Trump hadir di Oval Office, termasuk penasihat keamanan nasional, John Bolton, penasihat ekonomi, Larry Kudlow, dan pelaksana tugas Kepala Staff Kepresidenan, Mick Mulvaney, dan penasihat perdagangan, Peter Navaro.
Kecuali Navaro, seluruh penasihat Trump menolak keputusan pengenaan tarif baru terhadap produk China.
Akan tetapi ancaman Trump sudah menggaung sampai ke Negeri Tirai Bambu. Mudah ditebak, China meradang.
“Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Bila sampai benar kejadian (eskalasi perang dagang), analis memperkirakan risiko resesi ekonomi AS akan semakin besar. “Jika dia [Trump] menindaklanjuti ancaman tersebut, maka ancaman resesi akan meningkat,” ujar Mark Zandi, kepala ekonom Moody’s Analytics. Resesi merupakan kondisi dimana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi alias negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
China dan AS merupakan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Kala hubungan dagang keduanya semakin terhambat, maka rantai pasokan global juga akan terkena imbasnya.
Terlebih jika perekonomian dua negara tersebut kian melambat (apalagi resesi di AS). Sudah tentu laju pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia juga ikut melambat.
Berkaca pada eskalasi perang dagang yang terjadi pada bulan Mei, Bank Dunia (World Bank/WB) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) kompak sudah kompak menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dan 2020.
pada bulan Juni 2019, Bank Dunia menurunkan ramalan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 0,3 persen poin menjadi 2,6%. Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 dipangkas 0,1 persen poin menjadi 2,7%.
Adapun IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dan 2020 sebesar 0,1 persen poin menjadi masing-masing sebesar 3,25 dan 3,5%.
Kala itu penyebab utamanya alah keputusan Trump untuk menaikkan bea impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%). China membalas dengan tarif tambahan 5-25% atas produk AS senilai US$ 60 miliar.
Kini, risiko eskalasi semakin membuncah. Perlambatan ekonomi semakin sulit untuk diredam.
Alhasil pertumbuhan permintaan energi, yang salah satunya berasal dari minyak semakin sulit untuk tumbuh. Bahkan bisa jadi terkontraksi.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Suara.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]