Ribuan Pedemo Padati Kantor Polisi Hong Kong, Desak Batalkan RUU Ekstradisi

Ribuan demonstran berkumpul di markas besar kepolisian Hong Kong pada Jumat 21 Juni 2019, menuntut pengunduran diri pemimpin kota yang mereka nilai pro-Beijing atas proposal ekstradisi kontroversial yang telah memicu krisis politik terbesar di wilayah itu dalam beberapa dekade.

Protes itu terjadi setelah pemerintah menolak untuk memenuhi tuntutan jutaan demonstran penentang RUU yang akan memungkinkan ekstradisi ke daratan Tiongkok, atau nama resminya adalah Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019.

Gerakan massa telah berubah menjadi kecaman yang lebih besar terhadap pemerintahan Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam.

Kelompok-kelompok oposisi, setelah melakukan demonstrasi politik terbesar dalam sejarah Hong Kong, telah menyerukan pembatalan penuh undang-undang dan agar Lam mundur.

Setelah bertemu di kompleks pemerintah utama Hong Kong sebelum jam sibuk, ratusan pengunjuk rasa berpakaian hitam –banyak yang memakai masker wajah dan meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah– berkumpul menyesaki jalan arteri kota, Channel News Asia melaporkan (21/6/2019).

Para pengunjuk rasa, yang sebagian besar tidak memiliki pemimpin selama demonstrasi, kemudian berbaris di depan markas polisi, banyak yang meneriakkan “bebaskan orang yang benar” dan “memalukan kalian, polisi preman” –mereferensi kepada mereka yang ditahan selama kekerasan pekan lalu antara demonstran dan polisi.

Kelompok-kelompok oposisi menuntut penyelidikan atas tuduhan kebrutalan polisi dan mendesak pembebasan mereka yang ditahan selama bentrokan, di samping pemecatan Lam dan pembatalan RUU Ekstradisi.

Beberapa pengunjuk rasa menyingkirkan barikade logam kepolisian dan mengaturnya untuk memperkuat posisi mereka di luar markas polisi, ketika para pejabat menutup gerbang ke jalan masuk utama fasilitas itu.

Pihak Kepolisian Hong Kong mengatakan, mereka akan bernegogosiasi dengan massa dan meminta mereka untuk membubarkan diri karena telah menggangu pelayanan publik.

Pemimpin Hong Kong Gagal Meredam Kemarahan Publik

Seruan untuk protes hari Jumat dibuat oleh serikat pelajar kota, serta penyelenggara informal, lewat media sosial dan aplikasi pengirim pesan seperti Telegram.

Sejak beberapa hari terakhir, demonstran telah menyerukan untuk terus melanjutkan demonstrasi, bahkan setelah RUU Ekstradisi resmi ditunda “hingga waktu yang tidak ditentukan” oleh pemerintahan Carrie Lam.

Kelompok-kelompok itu juga merekomendasikan pemogokan massal, tetapi tidak segera jelas kelompok bisnis atau profesional mana yang akan mendukung panggilan semacam itu.

Sejauh ini Lam telah menentang seruan untuk mundur, dan sementara dia telah meminta maaf dan menangguhkan RUU tanpa batas waktu, ia telah gagal memadamkan kemarahan.

Pemerintah berargumen RUU ekstradisi yang diusulkan akan “menutup celah” sehingga kota itu tidak akan menjadi surga yang aman bagi para penjahat dan buronan.

Namun, demonstran dan para kritikus mengatakan bahwa produk hukum itu akan mengekspos orang-orang di Hong Kong ke sistem peradilan Tiongkok yang mereka nilai cacat dan mengarah pada erosi lebih lanjut terhadap independensi peradilan kota.

Hong Kong adalah bekas koloni Inggris, tetapi dikembalikan ke pemerintahan China pada tahun 1997 di bawah sistem “satu negara, dua sistem”. Kesepakatan itu juga mewajibkan Tiongkok untuk menjamin tingkat otonomi kepada Hong Kong.

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : MataTelinga.com

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

 

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *