BOJ Pertahankan Kebijakan Moneternya

Bank Sentral Jepang (BOJ) membiarkan kebijakan stimulus longgarnya tidak berubah setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) 18-19 September 2018. Pasalnya, BOJ ingin menilai dampak dari program moneter yang telah dijalankan selama dua tahun tersebut.

BOJ mempertahakan target yield obligasi bertenor 10 tahun tetap di sekitar 0%,suku bunga tetap di -0,1%, dan anggaran pembelian obligasi tetap sebesar 8 triliun yen per tahun. Adapun hasil tersebut sesuai dengan perkirakaan 51 ekonom. yang disurvei Bloomberg.

“Kita harus mempertahankan pelonggaran moneter dan memberikan waktu untuk inflasi mencapai target [2%],” kata Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda, seperti dikutip Reuters, Rabu (19/9/2018).

Kuroda menambahkan, kebijakan moneter longgar yang ditahan saat ini dilakukan juga mengingat dampaknya nanti terhadap sistem keuangan.

Pasalnya, BOJ merupakan bank sentral yang banyak membeli obligasi pemerintahnya dan ETF, sehingga pengetatan dari BOJ berpotensi mengguncang pasar keuangan hingga ke global.

Keputusan tersebut pun membuat BOJ semakin tertinggal di belakang bank sentral utama dunia lainnya, yang telah mulai menormalisasi kebijakan.

Bank Sentral AS (Federal Reserve) diperkirakan bakal mengerek suku bunganya lagi pada Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) pekan depan dan Bank Sentral Eropa (ECB) akan menghentikan program pembelian obligasinya pada akhir tahun ini.

Selanjutnya, survei Bloomberg menunjukkan selama BOJ dipimpin oleh Kuroda, otoritas monter Negeri Sakura tersebut akan tetap mempertahanan kebijakannya hingga 2020 sambil memonitor efek samping dari kebijakan tersebut.

Sejauh ini, inflasi yang dipantau sangat ketat oleh BOJ pun baru bergerak setengah dari target 2%. Ke depannya, BOJ dinilai masih akan mendapatkan tantangan untuk mencapai target tersebut.

Adapun risiko jangka pendeknya adalah bencana alam yang menimpa Jepang pada tahun ini, di antaranya gempa di Hokkaido, angin topan, dan gelompang panas, diperkirakan bakal memberatkan pertumbuhan pada kuartal III/2018.

Selain itu, pada paruh kedua 2019 ini, peningkatan pajak penjualan juga diperkirakan dapat semaki menekan konsumsi dan pertumbuhan.

Selain berbicara mengenai makroekonomi, Kuroda juga menyinggung tentang eskalasi perdagangan AS dan China. Dia menyebut bahwa proteksionisme dapat berdampak tidak hanya bagi negara yang berseteru namun juga jauh ke rantai penawaran ekonomi global.

“Sulit menyebut dampak spesifiknya, tapi tentu saja dampaknya berskala besar mengingat rantai penawaran global yang kompleks di dalam ekonomi dunia,” imbuh Kuroda.

 

 

 

 

 

Sumber Berita : bisnis.com
Sumber foto : Republika

 

[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *