Diskusi AS-Rusia Produktif, Ini Dampaknya ke Harga Minyak
Harga minyak mentah bergerak tak seirama pada perdagangan hari ini. Pergerakan harga minyak dipicu oleh banyak faktor mulai dari perbincangan AS-Rusia hingga kenaikan stok minyak AS.
Harga minyak mentah kontrak futures Brent menguat signifikan, tetapi minyak West Texas Intermediate justru flat. Pada perdagangan waktu Asia pukul 09.47 WIB, harga minyak Brent dibanderol di US$ 25,81/barel atau naik 13,5%. Sementara WTI tetap berada di posisi US$ 20,48/barel.
Sehari setelah Presiden AS Donald Trump tersambung dalam saluran telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, menteri energi AS dan Rusia juga terlibat dalam perbincangan melalui saluran telepon.
Reuters melaporkan Brouillette (menteri energi AS) dan Novak (menteri energi Rusia) “terlibat dalam diskusi yang produktif membahas volatilitas saat ini di pasar minyak global,” kata juru bicara Departemen Energi Shaylyn Hynes.
Namun di sisi lain harga minyak terutama minyak acuan AS yakni WTI mendapat sentimen yang buruk setelah ada rilis data asosiasi industri yang menunjukkan adanya kenaikan stok minyak mentah AS sebesar 10,5 juta barel pada minggu lalu. Angka tersebut jauh melampaui perkiraan analis sebesar 4 juta barel saja.
Harga minyak memang anjlok tajam setelah Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak Mentah dan aliansinya yang tergabung dalam OPEC+ gagal capai kata sepakat untuk pangkas produksi minyak lebih dalam.
Arab yang geram melancarkan perang harga dengan Rusia. Selain mendiskon harga minyak ekspornya sebesar 10%, Arab berencana akan meningkatkan produksi minyaknya hingga ke kapasitas maksimum pada April ini. Langkah yang sama juga dikabarkan diambil oleh Uni Emirat Arab.
Menambah berat pergerakan harga minyak, OPEC juga dikabarkan gagal bertemu di bulan April ini untuk membahas kejatuhan harga minyak setelah Arab Saudi menolak hal tersebut. Arab Saudi merupakan pemimpin OPEC secara de facto mengingat output minyaknya berkontribusi sebesar lebih dari 30% output minyak organisasi tersebut.
Pasar justru terancam kebanjiran pasokan (positive supply shock) ketika pandemi semakin merebak. Pandemi yang makin meluas dan mengakibatkan lockdown di berbagai negara telah membuat aktivitas bisnis dan transportasi menjadi tertekan. Akibatnya permintaan minyak anjlok (negative demand shock).
Menurut analis bank investasi global Goldman Sachs, permintaan minyak akibat wabah corona bisa anjlok lebih dari 10 juta barel per hari (bpd). Anjloknya permintaan ini sudah mulai tampak dari rilis data Kementerian Perdagangan dan Industri Korea Selatan yang menunjukkan impor minyak mentah Negeri ginseng turun 5,2% yoy pada Maret 2020 menjadi 82,5 juta barel dari sebelumnya 87,1 juta barel.
Hal ini lah yang menbuat AS mulai melobi-lobi Rusia dan Arab Saudi. Harga minyak yang anjlok terlampau dalam membuat produsen-produsen minyak di Paman Sam tersakiti. Pasalnya harga yang terlalu rendah tak mampu menutup ongkos produksi.
Bagaimanapun juga pergerakan harga minyak ke depan masih dibayangi oleh tekanan karena pandemi makin merebak secara masif, apalagi jika ditambah diskusi antar produsen minyak terbesar di dunia malah mengalami kebuntuan. Bukan tak mungkin harga minyak akan kembali tertekan.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : BeritaSatu.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]