Super Dolar Bikin Pusing Dunia Lagi, Ini 4 Faktor Pemicunya

Indeks dolar Amerika Serikat (DXY) secara konsisten mengalami penguatan sejak pertengahan Juli hingga saat ini. Apresiasi ini dipengaruhi berbagai faktor khususnya tingginya permintaan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Dilansir dari Refinitiv, indeks dolar mengalami penguatan sejak 14 Juli 2023 yang pada saat itu di angka 99,91 sedangkan per 6 September 2023 tercatat berada di posisi 104,83 atau telah naik hampir 5% hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan.

Indeks dolar AS mengukur nilai dolar terhadap enam mata uang utama lainnya-euro, krona Swedia, franc Swiss, pound Inggris, dolar Kanada, dan yen Jepang.

1. Inflasi AS Naik, The Fed Diproyeksi Masih Galak

Penguatan DXY ini terjadi di tengah kenaikan inflasi AS pada Juli yang yang mematahkan tren pelandaiannya selama 12 bulan berturut-turut. Tercatat inflasi AS naik menjadi 3,2% (year on year/yoy) pada Juli 2023 atau naik dari periode sebelumnya sebesar 3% yoy.

Sebagai akibatnya, harapan pasar melihat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) melunak masih jauh. Kebijakan the Fed yang susah melunak akan melambungkan dolar AS dan sebaliknya membuat mata uang negara lain akan ambruk, termasuk rupiah.

Suku bunga tinggi akan membuat investor lebih memilih untuk membeli aset aman dengan daya tarik lebih tinggi seperti dolar AS.

Risalah hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Juli lalu menunjukkan sebagian besar pejabat lebih memprioritaskan pertarungan atas inflasi.

“Dengan inflasi yang masih jauh di atas tujuan jangka panjang Komite dan pasar tenaga kerja tetap ketat, sebagian besar peserta terus melihat risiko kenaikan yang signifikan terhadap inflasi dan tetap memerlukan pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut,” ungkap risalah dalam pertemuan FOMC.

Sebagai informasi, the Fed pada Juli telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke posisi 5,25% – 5,50%, merupakan yang tertinggi selama lebih dari 22 tahun dengan target bisa melawan inflasi ke angka 2%.

Suku bunga AS yang tinggi ditambah potensi sikap hawkish the Fed ke depannya, membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) alias US Treasury tenor 10 tahun sempat melonjak ke atas 4,3% pada Kamis (17/8/2023) waktu setempat. Sedangkan pada Rabu (6/9/2023) tercatat imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun di angka 4,29%.

“Imbal hasil obligasi melonjak di hampir semua negara karena ada risiko perlambatan ekonomi. Situasi ini membuat orang kembali ke dolar AS dan surat utang,” tutur Edward Moya, analis OANDA, dikutip dari Reuters.

2. Surat Utang AS Makin Laku

Treasury International Capital (TIC) yang dirilis oleh US Department of Treasury pada 15 Agustus 2023 mencatatkan jumlah total pada Juni dari seluruh akuisisi bersih asing atas sekuritas jangka panjang, sekuritas jangka pendek AS, dan arus perbankan adalah arus masuk TIC bersih sebesar US$147,8 miliar.

Nilai tersebut mengalami turnover dari periode Mei yang mengalami outflow sebesar US$161,6 miliar. Arus masuk portofolio bersih bulanan dalam denominasi dolar ini didominasi oleh swasta asing sebesar US$119,8 miliar.

Selain itu, penduduk asing meningkatkan kepemilikan mereka pada surat utang AS sebesar US$21,3 miliar dengan didominasi oleh swasta dibandingkan periode Mei yang mengalami outflow sebesar US$17,7 miliar. Penduduk asing mencatatkan kepemilikan atas semua surat berharga AS jangka pendek dan penyimpanan lainnya dalam mata uang dolar meningkat menjadi US$13,2 miliar.

3. Dolar Kembali Dicari, Porsi Cadev Dolar Naik Lagi

Ketidakpastian global yang terjadi selama 2023 dengan tingkat inflasi dan suku bunga yang tinggi diberbagai negara berdampak pula terhadap cadangan devisa yang mengalami kenaikan. Cadangan devisa ini diperlukan untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran hingga menjaga kestabilan nilai tukar mata uang suatu negara.

Secara umum, mata uang dalam cadangan devisa adalah yang diakui oleh banyak negara dan berlaku secara internasional, seperti dollar AS, euro, yen, dan pound sterling.

Berdasarkan International Monetary Fund (IMF), tercatat total foreign exchange reserves di dunia pada kuartal-I 2023 mengalami kenaikan menjadi US$12,04 triliun sedangkan pada kuartal-IV 2022 tercatat lebih rendah yakni US$11,91 triliun.

Dari angka tersebut, cadangan yang teralokasi didominasi oleh dolar AS dengan total US$6,58 triliun pada kuartal-I 2023. Angka ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan kuartal-IV 2022 yang hanya sebesar US$6,46 triliun.

Dominasi dolar AS sebagai cadangan devisa global masih terjaga. Pada kuartal-I 2023, dolar AS memiliki porsi sebesar 59,02% dalam cadev global lalu disusul oleh euro dengan porsi 19,77%, yen diposisi ketiga dengan porsi 5,47%, sedangkan posisi keempat diisi oleh pound sterling dengan porsi 4,85%.

4. Harga Minyak Naik, Inflasi Terancam Terbang

Satu hal lagi yang membuat dolar AS semakin perkasa yakni tingginya harga minyak dunia. Sejak akhir Juni 2023, harga minyak dunia brent melonjak hingga menyentuh level US$90 per barel. Ini adalah kali pertama minyak brent menyentuh tersebut sejak 16 November 2022 atau hampir 10 bulan terakhir.

Harga minyak melonjak setelah Arab Saudi memangkas produksi sebesar 1 juta barel per day (bpd) secara sukarela hingga akhir tahun ini. Pemangkasan tersebut akan mengurangi produksi minyak hingga 9 juta bpd pada Oktober, November, dan Desember.

Rusia juga akan memperpanjang pemangkasan sukarela sebesar 300.000 hingga Desember 2023.

Lonjakan harga minyak akan berimplikasi kepada banyak hal. Lonjakan harga minyak dikhawatirkan akan melambungkan kembali inflasi sehingga harapan melihat the Fed melunak semakin menjauh.

“Kenaikan harga minyak akan menekan inflasi. Ini hanya akan membuat the Fed semakin bekerja keras menekan inflasi,” tutur Keith Lerner, co-chief investment officer pada Truist Advisory Services, dikutip dari CNBC International.

AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga lonnjakan harga minyak bisa berdampak besar terhadap laju inflasi AS ke depan.

Tingginya harga minyak ini juga akan membebani bagi negara net import minyak, sebab kenaikan harga minyak akan langsung membuat nilai impor bengkak.

Artinya, ada kebutuhan dolar AS yang meningkat. Hal ini membuat dolar AS kembali naik dan mata uang lawannya tertekan. Lonjakan harga minyak juga bisa membebani anggaran karena subsidi BBM semakin membengkak.

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : INews.ID

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *