Awas, Potensi Jepang Resesi Makin Besar
Ekonomi Jepang mencatatkan perlambatan yang lebih parah dari proyeksi awal di kuartal IV (Q4) dan merupakan perlambatan terparah sejak pemerintah menerapkan kenaikan pajak penjualan pada 2014, yaitu menjadi 8% dari 5%.
Perlambatan ini menambah kekhawatiran akan prospek ekonomi terjerat dalam resesi di tengah merebaknya wabah virus corona (COVID-19) asal Wuhan, China di banyak negara termasuk Jepang.
“Ekonomi terbesar ketiga di dunia itu menyusut 7,1% secara tahunan dalam tiga bulan hingga Desember,” menurut data yang direvisi, Senin (9/3/2020). Sebelumnya pada pembacaan awal ekonomi disebut melambat 6,3%. Angka ini juga lebih parah dari perkiraan pasar rata-rata yang sebesar 6,6%.
Wabah corona yang sudah menjangkiti 502 orang dan memakan korban jiwa 6 orang di Jepang itu, telah membuat sektor pariwisata terpuruk dan rantai pasokan terganggu. Kegiatan di berbagai sektor juga terganggu karena banyak negara lain yang memiliki bisnis dengan Jepang juga dilanda wabah mirip SARS itu. Di mana secara global sudah ada 110 ribu lebih orang terinfeksi virus corona, dengan penyebaran melampaui 100 negara per Senin.
Selain melambat akibat wabah corona, ekonomi Negeri Sakura juga tertekan akibat melonjaknya nilai yen dan buruknya kinerja saham Tokyo. Kinerja saham negeri ini memburuk akibat sentimen negatif di sektor minyak, di mana negara-negara OPEC + sepakat untuk mengakhiri pemangkasan produksi mulai akhir Maret mendatang.
Di sisi lain, para analis sebagian besar meyakini bahwa lemahnya pertumbuhan Oktober-Desember terjadi karena pelemahan dalam belanja modal. Padahal sebelumnya ini dianggap sebagai titik terang tunggal dalam ekonomi yang lemah itu.
Belanja modal turun 4,6% dari kuartal sebelumnya, lebih buruk dari perkiraan awal 3,7%. Ini merupakan penurunan terbesar sejak 2009, yang menandakan permintaan global lemah dan dampak dari perang perdagangan China-Amerika Serikat (AS) telah memengaruhi selera investasi.
Sementara itu, konsumsi swasta turun 2,8%, sejalan dengan penurunan awal 2,9%, karena rumah tangga menahan pengeluaran setelah pemerintah menaikkan pajak penjualan pada Oktober lalu menjadi 10% dari 8%.
Parahnya, ekonomi diprediksi bakal kembali terkontraksi di kuartal Januari-Maret, akibat dampak dari wabah corona yang telah menewaskan 3.000 lebih orang di seluruh dunia, dan berbagai tekanan lainnya. Jika benar Jepang mencatatkan perlambatan dua kuartal berturut-turut, maka negeri ini akan resmi masuk ke dalam resesi.
“Sayangnya, setiap pemulihan di Q1 telah dihapuskan oleh penyebaran global virus corona,” kata ekonom Jepang Capital Economics Tom Learmouth. “Ekonomi kemungkinan akan berkontraksi 0,5% pada kuartal saat ini dari kuartal terakhir,”
Namun demikian, pemerintah Jepang diyakini tidak akan tinggal diam melihat ekonominya terpuruk. Toru Suehiro, ekonom pasar senior di Mizuho Securities memproyeksikan bahwa pemerintah dan bank sentral negara itu akan mengerahkan dukungan fiskal dan moneter yang lebih kuat.
“Ekonomi Jepang sudah dalam resesi dan ada sinyal yang muncul bahwa yang terburuk belum datang,” kata Suehiro.
“Tidak banyak yang dapat dilakukan Bank Jepang (BOJ) karena pelonggaran moneter tidak dapat menyembuhkan penyakit. Yang paling tidak bisa dilakukan pemerintah dan BOJ adalah untuk mencegah dampak psikologis negatif dari epidemi tersebut semakin meningkat.”
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Ekonomi Bisnis
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]