Belum Puas Anjlok 1,5%, Poundsterling Lanjut Turun Lagi

Pelemahan nilai tukar poundsterling melawan dolar Amerika Serikat (AS) berlanjut pada perdagangan Rabu (18/12/2019) setelah anjlok 1,5% Selasa kemarin.

Pada pukul 9:13 WIB, GBP1 setara dengan US$ 1,3093, poundsterling melemah 0,27% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Performa mata uang negeri John Bull ini tentunya berkebalikan dengan Jumat (13/12/2019) pekan lalu yang meroket hingga mencapai level tertinggi 19 bulan.

Meroket dan anjloknya poundsterling disebabkan oleh hal yang sama, Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson. Pada Jumat lalu, Partai Konservatif yang dipimpin PM Johnson sukses memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) Inggris dan menguasai kursi mayoritas di parlemen dengan signifikan.

Partai yang juga disebut Tory ini meraih kursi sebanyak 365 dari 650 kursi parlemen. Jumlah tersebut bertambah 47 kursi dibandingkan Pemilu 2017 lalu.

Sementara itu, lawan terberatnya Partai Buruh meraih 203 kursi, berkurang 59 kursi dibandingkan Pemilu 2017. Partai Konservatif merupakan partai pemerintah Inggris saat ini pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson.

Dengan kemenangan ini, Boris Johnson otomatis mempertahankan posisinya sebagai orang nomor satu di pemerintah Inggris. Selain itu, dengan dikuasainya kursi mayoritas parlemen, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) bisa berjalan mulus.

Seperti diketahui sebelumnya, proposal Brexit selalu kandas di Parlemen Inggris. Proposal terbaru yang dibuat PM Johnson dan telah disetujui oleh Komisi Eropa kandas lagi di Parlemen Inggris sehingga deadline Brexit yang seharusnya pada 31 Oktober lalu mundur menjadi 31 Januari tahun depan.

Namun dengan kemenangan Tory, PM Johnson seolah jemawa dan bertindak sesuai keinginannya. Ia merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill).

CNBC International mengutip media local mewartakan PM Johnson akan merivisi undang-undang tersebut yang menghalangi diperpanjangnya masa transisi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).

Setelah Partai Konservatif yang dipimpin Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) pada pekan lalu, bahkan menguasai kursi mayoritas parlemen, Brexit kemungkinan besar akan terjadi pada 31 Januari 2020. Masa transisi akan berlangsung hingga akhir tahun depan.

Ketika ditanya mengenai apakah pemerintah akan melegislasi pembatasan masa transisi tidak lebih dari tahun 2020, salah satu menteri senior Inggris, Michael Gove mengatakan “tepat sekali”, sebagaimana diwartakan CNBC International.

Di tempat terpisah, dari Brussel pejabat Uni Eropa mengatakan jadwal perundingan dagang dengan Inggris “kaku” dan cederung membatasi ruang lingkup untuk mencapai kesepakatan dagang.

Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat. PM Jonhson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut, hal ini memicu kecemasan akan keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun atau hard Brexit kembali muncul, dampaknya poundsterling langsung jeblok.

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Tribunnews.com

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *