Rapat Paripurna DPR Rekomendasikan Amnesti untuk Baiq Nuril
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati memberikan pertimbangan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mengabulkan permohonan amnesti Baiq Nuril Maknun. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Erma Suryani Ranik membacakan hasil keputusan rapat pleno yang digelar Rabu, 24 Juli 2019.
“Komisi tiga dengan mengedepankan prinsip musyawarah mufakat secara aklamasi menyatakan menyetujui untuk memberikan pertimbangan pada Presiden Indonesia agar Saudara Baiq Nuril Maknun dapat diberikan amnesti,” kata Erma di ruang rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 25 Juli 2019.
Erma juga menerangkan status hukum Baiq Nuril sebagai terpidana yang divonis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta atas tuduhan pencemaran nama. Dia dihukum lantaran dianggap melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan menyebarkan percakapan asusila, hasil rekaman telepon atasannya.
Erma mengatakan Baiq adalah korban yang sesungguhnya. Menurut Erna, apa yang Baiq lakukan adalah upaya melindungi diri. Komisi Hukum pun mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dalam pemberian amnesti ini.
Amnesti, kata Erma, berarti kekuasaan atau kewenangan untuk melepaskan orang atau sekelompok orang yang dinyatakan bersalah akibat tindak pidana. Dia mengakui masih banyak pandangan klasik yang menganggap amnesti hanya dapat diberikan untuk kejahatan terkait politik.
“Kami pandang dalam upaya penegakan hukum ada unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiganya harus adil secara proporsional agar hukum jadi panglima,” kata dia.
Wakil Ketua DPR yang menjadi pimpinan rapat, Utut Adianto lantas menanyakan kepada anggota Dewan apakah menyetujui pertimbangan pemberian amnesti tersebut.
“Apakah laporan Komisi tiga DPR RI tentang pertimbangan atas pemberian amnesti terhadap Baiq Nuril Maknun dapat disetujui?” tanya Utut, disambut teriakan “setuju” dari hadirin.
Baiq Nuril adalah korban pelecehan seksual yang justru dipidana dengan tuduhan melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus ini bermula ketika Kepala SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, Muslim, menelepon Nuril dan berbicara mesum pada 2012. Nuril merekam percakapan itu untuk membela diri sekaligus menampik isu adanya hubungan khusus antara dirinya dan Muslim.
Rekaman tersebut kemudian disimpan Baiq Nuril dan diserahkan kepada seseorang bernama Imam Mudawin. Imam memindahkan bukti rekaman tersebut dan disimpan secara digital di laptop-nya, hingga tersebar luas.
Baiq Nuril justru dituntut dengan tuduhan pencemaran nama baik. Lolos di pengadilan tingkat pertama, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung malah menghukum Nuril. MA menolak PK Nuril, honorer di SMAN 7 Mataram itu dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Sumber : tempo.co
Gambar : Beritagar
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]