DPR Apresiasi Putusan MK Tentang UU Perjanjian Internasional
Anggota Komisi I DPR RI Bobby Rizaldi Adityo menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan Indonesia Human Right for Social Justice (IHCS) terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional.
Putusan yang bernomor 13/PUU-XVI/2018 menyebutkan bahwa Pemerintah (eksekutif) tak boleh lagi melakukan perjanjian international secara sepihak tanpa konsultasi ke DPR sebelumnya.
Menurut Boby, hal itu memang perlu dilakukan agar mekanisme check and balances semakin kuat dalam kebijakan bilateral atau multilateral yang bersifat strategis.
“Tentu kami menyambut baik, agar mekanisme check and balances dimana ada keterikatan bilateral/multilatera yang bernilai strategis, komersial,” kata Boby kepada AKURAT.CO, Jakarta, Minggu (25/11) malam.
Politisi Golkar tersebut mengungkapkan, selama ini DPR masih dilibatkan dalam perjanjian internasional yang dilakukan oleh Pemerintah termasuk meratifikasi UU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut. Hanya saja, kata dia, memang ada kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan DPR seperti Kontrak Freeport dan pengadaan pesawat tempur antara Indinesia-Korea Selatan, KFX/IFX.
“Tentu kami menyambut baik, agar mekanisme check and balances dimana ada keterikatan bilateral/multilatera yang bernilai strategis, komersial,” kata Boby kepada AKURAT.CO, Jakarta, Minggu (25/11) malam.
Politisi Golkar tersebut mengungkapkan, selama ini DPR masih dilibatkan dalam perjanjian internasional yang dilakukan oleh Pemerintah teemasuk meratifikasi UU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut. Hanya saja, kata dia, memang ada kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan DPR seperti Kontrak Freeport dan pengadaan pesawat tempur antara Indinesia-Korea Selatan, KFX/IFX.
“Memang ada hal-hal seperti Kontrak Karya Freeport atau yang terkini KFX/IX, ada beberapa polemik baik di publik maupun di internal pemerintah sendiri,” ujarnya.
Sehingga dengan putusan MK tersebut, kata dia, ada mekanisme evaluasi antara DPR dengan pemerintah terkait keputusan yang strategis mengikat baik yang membebani APBN atau yang berdampak luas bagi masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut, ia mengatakan, agar lebih memperkuat lagi kontrol DPR terhadap perjanjian internasional Pemerintah, maka perlu segera dilakukan revisi UU Nomor 24 Tahun 2000.
“Jalan tengah nya, agar pemerintah juga rujukan yang jelas, perlu segera diatur lebih detil dalam Revisi UU 24/2000. Dalam hal ini, pemerintah perlu diberikan ruang juga agar bisa dinamis dalam melakukan pendekatan-pendekatan hubungan dengan pihak LN (luar negeri), akan tetapi tetap terjaga akuntabilitasnya kepada publik,” tandasnya.
Secara terpisah Ketua IHCS David Sitorus mendesak revisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 segera diselesaikan oleh Pemerintah dan DPR RI.
Menurutnya dalam revisi UU tersebut, kontrol DPR terhadap perjanjian internasional Pemerintah harus diperkuat. Pasalnya, selama ini, perjanjian Internasional yang dilakukan Pemerintah tidak melibatkan DPR.
“Saya berharap dalam revisinya nanti ini (UU Nomor 24 Tahun 200), perbaikan Undang-Undang internasional yang lagi digodok oleh pemerintah ini, peran serta masyarakat itu dilibatkan dalam penyusunan ini,” pungkasnya.
Sumber : Akurat.com
Gambar : Tribunnews.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]