Di Balik Depresiasi Rupiah terhadap Dollar AS

Depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih belum berkahir. Pada penututupan perdagangan kemarin, Selasa (2/10/2018) nilai tukar rupiah di pasar spot berada pada posisi Rp 15.043 per dollar AS. Faktor eksternal ditambah dengan defisit transaksi berjalan yang melebar didapuk menjadi penyebab utama melemahnya mata uang garuda terhadap greenback (sebutan bagi dollar AS).

VP Economist PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS selain dipicu oleh penguatan dollar AS terhadap seluruh mata uang dunia pada perdagangan waktu AS tempo hari. Ini juga diikuti oleh kenaikan imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS dan harga minyak dunia. Di sisi lain, isu perang dagang antara AS dan China kembali memanas setelah AS mencapai kesepakatan perdagangan baru dengan Kanada dan Meksiko yang mengisyaratkan pembatasan barang-barang dari China.

“Tren kenaikan harga minyak dunia yang telah mencapai level 75 dollar AS per barel untuk WTI (West Texas Intermediate) dan menembus level 85 dollar AS per barel untuk Brent, berpotensi akan berdampak negatif bagi negara-negara yang notabene net-oil importer karena akan memberikan tekanan pada pelebaran defisit transaksi berjalan,” ujar Josua ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (2/10/2018).

Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonomi Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, berdasarkan analisis model yang dilakukan, pelemahan rupiah terjadi akibat lonjakan harga minyak. Sebab, Indonesia bukan lagi bagian dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

“Sementara harga komoditas income seperti batu bara, CPO dan karet masih lemah,” ujar Budi. Dia menjelaskan, harga minyak selama tahun berjalan sudah naik 27 persen, sementara pendapatan dari sektor komoditas tak mampu mengimbangi lonjakan harga minyak tersebut.

Untuk batubara, meski terdapat kenaikan harga batu bara hingga 9,7 persen sepanjang tahun ini, namun harga komoditas utama lain seperti karet dan crude palm oil (CPO) cenderung turun masing-masing 8,92 persen dan 14,08 persen.

“Kalau commodity cost kan butuh valas, income membutuhkan valas, jadi secara fundamental ini lah kenapa rupiah melemah,” ujar Budi. Adapun Ekonom Center of Reform on Economics Piter Abdullah mengatakan ketidakpastian di perekonomian global yang di perburuk oleh kondisi domestik akibat defisit transaksi berjalan (CAD) masih menjadi faktor utama dari kembali terdepresiasinya rupiah terhadap dollar AS. “Jadi sangat tidak mengejutkan kalau hari ini rupiah melemah menembus Rp 15.000,” ujar dia.

Kembali ke bawah 15.000?

Lebih lanjut Piter mengatakan, jika rupiah tidak kembali ke level di bawah Rp 15.000 per dollar AS hari ini, ada kemungkinan rupiah akan terus melemah dan membentuk level kestabilan baru di atas Rp 15.000 per dollar AS.

“Tapi saya yakin BI (Bank Indonesia) tidak menghendaki itu terjadi,” sebut Piter kepada Kompas.com, Selasa (2/10/2018). Dia mengatakan, kenaikan suku bunga BI sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen pada Kamis (27/9/2018) lalu memang tidak ditujukan untuk memperkuat rupiah.

Namun, hanya untuk menjaga stabilitas dari pelemahan rupiah. Selain itu, dampak kenaikan suku bunga BI memang hanya bersifat temporer. Sementara Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo ketika dihubungi Kompas.com pun mengatakan, BI akan selalu berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah.

Namun, dirinya enggan untuk berkomentar lebih lanjut. “Mohon maaf saya tidak dulu merespons pertanyaan yang diajukan ke saya. BI terus berada di pasar menstabilkan rupiah yang tekanannya cukup besar,” ujar dia, Rabu (3/10/2018) pagi.

Terlemah dalam 20 Tahun

Research Analyst FXTM Lukman Otunuga mengatakan, melemahnya rupiah terhadap dollar AS saat ini merupakan level terendah sejak 20 tahun terakhir. “Kelemahan ini kemungkinan didasarkan pada faktor eksternal dan kekhawatiran atas defisit transaksi berjalan mata uang negara yang semakin meluas menjadikannya krisis keuangan,” jelas Lukman melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com Selasa (2/10/2018).

Dia menjelaskan, meskipun Bank Indonesia telah meningkatkan suku bunga acuan mereka BI7DRRR sebanyak 5 kali atau 150 bps sejak pertengahan Mei lalu nyatanya tidak mampu mempertahankan nilai tukar rupiah ataupu membatasi tekanan arus modal keluar.

Menguatnya dollar AS yang didukung ekspektasi kenaikan suku bunga bak sentral Amerika Serikat Federal Reserve serta diikuti ketegangan perdagangan AS dan China masih menjadi kunci utama yang memengaruhi kepercayaan investor.

 

 

 

Sumber : kompas.com
Gambar : Elshinta.com

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *