Pemilu Kamboja, ASEAN Dinilai Gagal Lindungi Demokrasi
Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP), partai oposisi utama pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen, menganggap ASEAN gagal melindungi demokrasi di kawasan karena tak bisa bersuara menentang praktik kecurangan dalam pemilihan umum Kamboja kemarin, Minggu (29/7).
Padahal, Wakil Presiden CNRP Mu Sochua, mengatakan negara anggota ASEAN termasuk Kamboja telah mengadopsi deklarasi penghormatan hak asasi manusia (ham) pada 2012 lalu.
Menurutnya, dengan disahkannya deklarasi tersebut, seluruh negara anggota wajib melawan seluruh pihak yang berupaya merusak nilai HAM dan penerapan demokrasi di kawasan, termasuk menentang penyelenggaraan pemilu Kamboja yang dinilai tak adil, Minggu (29/7).
“ASEAN tidak bersuara sama sekali untuk mengatasi situasi dan kondisi politik yang sangat-sangat serius yang sedang terjadi di Kamboja berkaitan dengan pemilu yang tidak adil kemarin,” kata Sochua dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (30/7).
“ASEAN punya mekanisme dan deklarasi sendiri mengenai hak asasi manusia karena itu seluruh negara anggota sudah sepatutnya mematuhi kewajiban melindungi penegakkan hak asasi manusia dan demokrasi di kawasan.”
PM Hun Sen dipastikan kembali berkuasa untuk lima tahun ke depan setelah partainya, Partai Rakyat Kamboja (CPP), menang telak dalam pemilu, Minggu (29/7). Kemenangan Hun Sen disebut palsu lantaran dia terlebih dahulu menyingkirkan seluruh pesaing dan kritiknya, termasuk CNRP, demi bisa menang pemilu.
Lewat keputusan Mahkamah Agung Kamboja, Hun Sen membubarkan CNRP tahun lalu dan memenjarakan sejumlah anggotanya karena dinilai mengkhianati negara.
PM yang sudah menjabat selama 30 tahun terakhir itu juga membubarkan sejumlah media dan organisasi untuk membendung kritik yang dapat merusak peluangnya untuk kembali berkuasa.
Dengan ketiadaan CNRP sebagai oposisi utama, Hun Sen dan partainya menikmati 80 persen suara dan sedikitnya 100 dari 125 kursi Majelis Nasional atau Parlemen Kamboja dalam pemilu, Ahad.
Juru bicara CPP Sok Eysan menegaskan partainya akan memenangkan seluruh kursi parlemen setelah mengklaim kemenangan telak di pemilu.
Sochua menekankan CNRP menolak hasil pemilu yang dianggap tanda kematian demokrasi di Kamboja itu. Dia meminta komunitas internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ASEAN, hingga Uni Eropa menolak kemenangan Hun Sen.
Sebab, menurutnya, penghinaan demokrasi yang sedang terjadi di Kamboja saat ini bisa berpengaruh buruk terhadap stabilitas kawasan.
“Pemimpin negara ASEAN seharusnya bisa menyuarakan masalah ini secara lebih serius. Pemimpin ASEAN seharusnya tidak boleh duduk bersama seorang diktaktor seperti Hun Sen dan berpura-pura bahwa demokrasi terjamin di Asia Tenggara,” kata Sochua.
Dalam kesempatan yang sama, CNRP juga meminta Indonesia bersuara menentang ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemilu Kamboja.
Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Wakil Direktur Hubungan Luar Negeri CNRP, Monovithya Kem, berharap Indonesia bisa mengambil langkah konkret membantu rakyat Kamboja merasakan demokrasi yang sesungguhnya.
“Kami menyerukan seluruh komunitas internasional, termasuk Indonesia, menolak hasil pemilu Kamboja kemarin. CNRP tentutnya tidak akan pernah menerima hasil pemilu kemarin dan membiarkan Hun Sen berkuasa lagi untuk lima tahun ke depan,” kata Kem.
Kem dan Sochua tiba di Jakarta sejak akhir pekan kemarin. Kem mengatakan keduanya terus meminta dukungan dari sejumlah LSM di Indonesia untuk memperjuangkan penyelenggaraan pemilu yang adil di Kamboja.
Kem mengatakan dia bersama Sochua berharap bisa bertemu perwakilan pemerintah Indonesia guna membicarakan dan meminta bantuan mengatasi situasi politik dan krisis demokrasi yang tengah terjadi Kamboja saat ini.
Sumber Berita : cnnindonesia.com
Sumber foto : CNN Indonesia
[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]