DPR Tunda Pengesahan RUU Sumber Daya Air

DPR secara resmi menunda pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) terkait Sumber Daya Air di Rapat Paripurna DPR yang digelar di Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (3/9).

Wakil Ketua DPR yang memimpin rapat paripurna, Utut Adianto, mengatakan penundaan pengesahan RUU Sumber Daya Air karena masih mempersiapkan masalah teknis.

“Sehubungan dengan masih adanya persiapan teknis terkait pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan terkait Sumber Daya Air,” kata Utut.

Utut pun enggan menyebut persiapan teknis apa yang menghambat pengesahan RUU tersebut. Setelah itu, Utut lantas melempar pertimbangan kepada anggota DPR yang hadir untuk menunda pengesahan RUU SDA kali ini.

Ia menyarankan agar DPR bisa mengesahkan RUU ini pada sidang paripurna terdekat atau pada 24 September 2019.

“Kami mohon persetujuan dewan, apakah pembicaraan tingkat II terkait Sumber Daya Air dapat diagendakan kembali dalam sidang paripurna terdekat,” kata Utut.

“Apakah ini dapat disetujui?” Lanjut Utut bertanya

“Setuju,” timpal seluruh anggota DPR.

Sebelumnya, DPR dan pemerintah telah sepakat untuk mencoret poin terkait kewajiban perusahaan menyisihkan paling sedikit 10 persen dari laba usaha untuk konservasi air saat pembahasan RUU SDA.

Keputusan itu dilakukan lantaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk konservasi nantinya akan diatur lebih rinci dengan peraturan pemerintah.

Ketua Panitia Kerja SDA Komisi V DPR Lazarus mengatakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk konservasi nantinya akan diatur lebih rinci dengan peraturan pemerintah. Untuk besarannya, pemerintah akan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder) lain.

Penetapan biaya konservasi 10 persen dari laba usaha bisa memicu perusahaan merugi tak membayar kewajibannya. Maka itu, perlu dikaji lagi lebih detail dalam aturan turunan RUU SDA.

Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil mengkritik proses pembahasan RUU Sumber Daya Air yang dinilai tergesa-gesa.

Padahal, masih ada beberapa persoalan inti yang belum rampung. Misalnya, biaya konservasi yang seharusnya dibebankan ke perusahaan swasta demi kelestarian sumber daya air, serta persoalan privatisasi air yang masih belum diatur tegas.

Padahal, pada 2015 Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan seluruh pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA).

Dalam pertimbangan putusan uji materi yang diajukan oleh PP Muhammadiyah itu, MK menyatakan air, sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai negara.

Walhasil, harus ada pembatasan ketat dalam penguasaan air oleh swasta sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan.

Ketua DPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyatakan RUU SDA itu jika disahkan bisa mengisi kekosongan regulasi. Namun demikian, ia menilai air, sebagai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dalam pengawasan dan pengendalian air oleh negara secara mutlak.

“Prioritas utama di dalam pengusahaan atas air diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),” katanya, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/9).

“Apabila semua batasan tersebut telah terpenuhi, dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat,” Bamsoet menambahkan.

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *