Cermati Saham Emiten Berbasis Ekspor saat Rupiah Melemah

Nilai tukar rupiah yang diperkirakan melemah pada pekan ini bisa dimanfaatkan pelaku pasar untuk mengambil posisi beli pada saham berbasis ekspor. Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kemungkinan bakal terjadi akibat defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang semakin melebar pada kuartal II 2018. Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), defisit NPI per kuartal II 2018 sebesar US$4,3 miliar, sedangkan pada kuartal I 2018 hanya US$3,8 miliar.

Pada penutupan Jumat (10/8), rupiah berakhir di area Rp14.478 per dolar AS atau turun tipis 0,43 persen. Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang mengatakan bukan tak mungkin rupiah akan menyentuh Rp14.500-Rp14.600 per dolar AS pekan ini. Ia menyarankan pelaku pasar untuk masuk ke saham berbasis tambang, karena sebagian produksinya dijual ke luar negeri. Menurut dia, raihan pendapatan perusahaan tambang bakal semakin tinggi seiring dengan kuatnya nilai dolar AS terhadap rupiah.

“Dari sektor batu bara misalnya bisa PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA),” papar Edwin, Senin (13/8). Pada pekan lalu, harga saham-saham tersebut juga berakhir di zona merah pada akhir pekan lalu, Jumat (10/8). Dengan demikian, pelaku pasar bisa membeli saham-saham itu dengan harga yang lebih murah. Tercatat, harga saham Indo Tambangraya Megah terkoreksi 1,16 persen ke level Rp27.800 per saham, Adaro Energy terkoreksi 1,29 persen ke level Rp1.910 per saham. Sementara, untuk Bukit Asam berhasil menguat 1,88 persen ke level Rp4.890 per saham.

“Ditambah harga batu bara juga menarik karena masih di atas US$100 per metrik ton sekarang,” ujar Edwin. Pelaku pasar, menurut Edwin, juga bisa berinvestasi di saham tambang di sektor logam, seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), dan PT Timah Tbk (TINS). Sama halnya seperti emiten batu bara, harga saham emiten di sektor logam juga mayoritas melemah pada pekan lalu. Rinciannya, harga saham Vale Indonesia berakhir di level Rp4.290 per saham atau turun 2,05 persen, Aneka Tambang turun 1,65 persen ke level Rp895 per saham, sedangkan Timah naik tipis 0,6 persen ke level Rp845 per saham.

Sementara itu, Analis Phintraco Sekuritas Rendy Wijaya berpendapat pelaku pasar perlu mencermati lebih detil pergerakan harga batu bara saat ini. Meski masih berada di atas level US$100 per metrik ton, tetapi Rendy menyebut harga batu bara semakin turun. “Sekarang menurun dari posisi US$117 per metrik ton, sekarang di kisaran US$105-US$106 per metrik ton,” tutur Rendy.

Untuk opsi lainnya, pelaku pasar bisa melirik saham konsutruksi seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI). “Sentimennya masih didukung oleh pembangunan infrastruktur,” terang Rendy. Ini artinya, kata Rendy, saham emiten berbasis konstruksi positif untuk jangka panjang. Kedua saham emiten itu pun berpotensi menanjak pekan ini.

“Harga saham Waskita Karya targetnya pekan ini bisa ke level Rp2.400 per saham,” tutur Rendy. Pada akhir pekan lalu, harga saham Waskita Karya menguat signifikan hingga 3,94 persen ke level Rp2.110 per saham. Kemudian, saham Adhi Karya pada Jumat lalu ditutup di level Rp1.675 per saham atau naik tipis 0,3 persen. Dalam sepekan ini, Rendy memprediksi harga saham Adhi Karya mendarat di level Rp1.900 per saham.

Sentimen positif untuk emiten konstruksi ini juga datang dari laporan keuangan emiten masing-masing. Mengutip laporan keuangan Waskita Karya periode semester I 2018, perusahaan membukukan kenaikan laba bersih hingga 133,59 persen menjadi Rp2,99 triliun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1,28 triliun. Hal ini ditopang oleh penjualan perusahaan yang juga meningkat 47,29 persen. Alhasil, Waskita Karya meraup pendapatan sebesar Rp22,89 triliun, sedangkan semester I 2018 hanya Rp15,54 triliun.

Sementara, Adhi Karya belum merilis laporan keuangannya untuk periode semester I 2018. Namun, kinerja keuangan perusahaan pada kuartal I 2018 terlihat naik. Adhi Karya meraih laba bersih sebesar Rp73,28 triliun atau melonjak 282,86 persen dari sebelumnya yang hanya Rp19,14 triliun. Hampir sama seperti Waskita Karya, pendapatan perusahaan yang sedang membangun mega proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) ini juga naik 40,17 persen dari Rp2,24 triliun menjadi Rp3,14 triliun.

 

 

 

 

Sumber Berita : cnnindonesia.com
Sumber foto : Tempo.co

 

 

 

[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *