Turki Krisis Keuangan, Lira Kian Tenggelam
Nilai tukar lira Turki semakin tenggelam pagi ini, Senin (13/8/2018), setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan tidak menunjukkan tanda-tanda mengalah dalam pertikaian diplomatik dengan pemerintah Amerika Serikat (AS). lira merosot melampaui 7,23 per dolar AS sebelum kemudian mampu memangkas sedikit pelemahannya, setelah pihak otoritas perbankan Turki melakukan intervensi untuk membatasi transaksi swap pada lira. Lira telah terpukul di tengah kekhawatiran atas tensi perdagangan yang memanas antara Turki dan AS, inflasi yang melaju, dan salah satu defisit transaksi berjalan terbesar dunia. Lira merosot lebih dari 40% sepanjang tahun ini, sekaligus mencatat kinerja terburuk pada 2018 di antara mata uang global lain yang dilacak oleh Bloomberg.
Data Bloomberg menunjukkan dolar AS telah menguat 13% terhadap lira ke posisi 7.2362, sebelum sedikit turun ke posisi 6,8403 pada pukul 7.25 pagi waktu Sydney. Lira telah menjadi korban atas krisis mendalam yang dipicu agenda pertumbuhan oleh pemerintahan Presiden Erdogan serta pertikaian diplomatik dengan AS, yang menjatuhkan sanksi atas penahanan seorang pendeta asal AS. Turki menolak berkomitmen untuk melepaskan seorang pendeta asal AS bernama Andrew Brunson yang ditahan karena tuduhan keterlibatan upaya kudeta yang gagal pada tahun 2016 di Turki.
“AS menjual hubungan kemitraan NATO kita untuk seorang pendeta,” kata Erdogan dala pidatonya pada Minggu (12/8). “Kalian [AS] tidak bisa menjinakkan masyarakat kami dengan ancaman.” Kekhawatiran terhadap kejatuhan lira pun memicu guncangan pada pasar global, dengan menyeret mata uang emerging market turun pada hari Jumat (10/8/2018). Berlanjutnya pelemahan lira juga membantu membebani mata uang euro dan memacu mata uang safe haven lebih tinggi pada awal perdagangan di Asia. Euro melemah 0,4% terhadap dolar AS, dan 1% terhadap franc Swiss.
Terhadap yen Jepang, lira bahkan pada satu titik turun hampir 1,6%. Mata uang emerging market yang liquid juga mendapat tekanan dengan peso Meksiko dan rand Afrika Selatan masing-masing mencatat penurunan sekitar 1%. Aksi jual terhadap lira mencerminkan mosi tidak percaya dalam sistem pemerintahan baru di Turki, yang pada dasarnya melumpuhkan birokrasi di Ankara. Dalam pidato pada Minggu (12/8), Erdogan tetap menentang dan bersumpah tidak akan menyerah pada suku bunga. Dia juga mengesampingkan kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional.
Erdogan, yang menyebut dirinya “musuh suku bunga” menginginkan bank-bank meminjamkan kredit murah untuk memicu pertumbuhan. Pasar pun mengkhawatirkan kemampuan bank sentral negara tersebut untuk mengendalikan inflasi double-digit di tengah keinginan Erdogan untuk suku bunga yang lebih rendah. “Kenaikan suku bunga tidak akan cukup, pejabat Turki perlu menciptakan kejutan kredibilitas,” ujar Guillaume Tresca, senior emerging market strategist di Credit Agricole CIB. “Penyeimbangan kembali ekonomi secara menyeluruh diperlukan, dengan tim ekonomi baru dan komitmen nyata terhadap independensi bank sentral.”
Bank sentral Turki, yang telah menaikkan suku bunga acuannya menjadi 17,75%, secara tidak terduga menahan diri dari kenaikan lebih lanjut pada pertemuan kebijakan terakhirnya. “Masalah Turki akan terus meningkat ketika dihadapkan dengan kebijakan moneter dan fiskal yang terlalu longgar,” tulis ekonom senior Capital Economics, John Higgins dalam risetnya.
Sumber Berita : bisnis.com
Sumber foto : Tribunnews.com
[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]