Pedagang di Glodok Raup Omzet Hingga Puluhan Juta Jelang Imlek
Para pedagang memenuhi ruas jalanan Pecinan Glodok, Jakarta Barat, untuk menjual pernak pernik aksesoris Imlek. Mulai dari pedagang yang berjualan di kios semi permanen, hingga yang memanggul dagangannya.
Pantauan CNNIndonesia.com, Senin (16/1), para pembeli nampak mengerumuni pedagang incarannya seperti aksesoris, baju, perabot, hingga jajanan.
Trotoar di jalanan Pecinan Glodok itu juga didominasi oleh warna merah-pink dengan gambar Shio Kelinci hampir di semua dagangan.
Seorang pedagang aksesoris Imlek, Yayan, mengaku sudah kehabisan barang dengan gambar Kelinci. Barang dagangannya seperti lampion, amplop angpao, hiasan dinding, dan gantungan pintu aneka rupa sudah ludes terjual.
Yayan menilai jika dibandingkan dengan Imlek tahun lalu, kali ini lebih terasa ramai dan menguntungkan baginya. Bahkan peningkatan omzet itu mencapai lebih dari 200 persen dibanding hari-hari biasanya.
“Puncak ramainya dari minggu kemarin sama (akhir pekan) kemarin. Sekarang orang-orang sudah pada pulang kampung. Minggu kemarin itu omzet paling tinggi, sampe Rp15 juta, kalo hari-hari biasa per hari paling Rp3-4 juta. Terasa banget (peningkatan) ini kalau Imlek,” kata Yayan saat ditemui CNNIndonesia.com.
Ia mengaku kehabisan barang dagangan Shio Kelinci karena distributor yang takut menyetok barang terlalu banyak. Pasalnya, berkaca dari pengalaman tahun lalu, masih banyak aksesoris yang tak laku hingga Imlek berakhir.
“Ngitungnya kurang nih soalnya agen-agen pada nggak berani nyetok banyak, karena kondisinya kayak begini. Takut kayak tahun lalu, banyak sisa. Eh, tahun ini malah kurang,” tuturnya.
Yayan mulai berdagang di Pecinan Glodok sejak 2000 silam. Kios yang tak terlalu lebar itu hanya menjual aksesoris Imlek tiga bulan sebelum hari raya. Pada hari-hari biasa, Yayan berjualan perabot rumah seperti piring, gelas, panci, dan lainnya.
Kini dengan dagangan berkisar Rp5 ribu hingga Rp200 ribu itu, Yayan menuai keuntungan berlipat. Meskipun, ia juga dibayang-bayangi oleh barang dagangan yang tersisa nanti.
“Tiap tahun kan pada beda beli Shionya (beda) jadi rata (laris semua). Kalau (aksesoris) yang netral ya sama. Kalau nyisa nggak bisa dipakai lagi tahun depan, kecuali kalau yang nggak ada gambar kelincinya,” tegasnya.
Nasib berbeda dialami oleh pedagang baju bernuansa Imlek, Dian. Perempuan pertengahan 30 tahun ini mengaku sudah berdagang selama 4 tahun, namun perayaan tahun ini justru tak seramai yang lalu.
Ia mengaku meski pandemi covid-19 memaksa orang tetap tinggal di rumah, namun pada tahun lalu ia berhasil meraup omzet Rp50 juta dalam dua pekan jelang Imlek. Sedangkan pada tahun ini pun setengahnya tak sampai.
Di sisi lain, Dian mengaku jika dibandingkan dengan hari biasa, jumlah pengunjung di kiosnya ini meningkat hingga 80 persen.
“Kalau dulu mungkin Rp50 juta selama Imlek, sekarang nggak sampai segitu. Kayaknya juga nggak bakal segitu. Bisanya jam segini itu sampai jam 8 (malam) kita sibuk, biasanya kita nggak bisa duduk, kalau dulu. Tapi sekarang ini bisa santai,” ujar Dian sembari menata dagangannya.
Sama halnya dengan Dian, pedagang aksesoris bernama Tio mengaku jika dibandingkan dengan Imlek tahun lalu, penjualannya kali ini turun sekitar 20 persen. Padahal, dengan kios kecilnya yang berada di dalam gang, selama dua pekan sebelum hari raya ia bisa meraup sekitar Rp10 juta.
“Lebih ramai tahun lalu, kemarin puncaknya itu Minggu. Omzet tahun lalu selisihnya sampai 20 persen lah, ini dibanding hari biasa lebih ramai Sabtu-Minggu,” tegas Tio.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Kompas TV