Tiba-tiba Negerinya Xi Jinping Kendalikan Yuan, Ada Apa nih?
China kini tengah mencoba mengendalikan mata uangnya, yuan, atau renminbi yang melonjak ke level tertinggi dalam 3 tahun terakhir terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Mata uang yuan yang lebih kuat membuat harga barang-barang China relatif lebih mahal bagi pembeli di luar negeri. Akibatnya memicu kekhawatiran tentang daya saing ekspor China, yang merupakan penyumbang utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Mata uang China diperdagangkan sedikit lebih lemah terhadap dolar AS setelah People’s Bank of China (PBOC), bank sentralnya, menetapkan titik tengah harian yuan di level 6,3773 versus greenback atau dolar AS, pada Rabu (2/6/2021).
Menurut data dari Wind Information, langkah PBOC tersebut juga membalikkan 6 hari perdagangan berturut-turut dari sebelumnya yang menguat sejak 24 Mei.
PBOC telah mencoba memungkinkan pasar memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan nilai tukar yuan. Tetapi bank sentral mempertahankan beberapa kendali melalui penetapan titik tengah (median) harian terhadap dolar, memungkinkan yuan untuk bergerak 2% lebih tinggi atau lebih rendah dari level itu.
Pengendalian yang lemah terhadap yuan ini mengikuti pengumuman bank sentral PBOC pada Senin (31/5/2021) malam, di mana mulai 15 Juni, lembaga keuangan harus meningkatkan rasio simpanan valuta asing (valas) mereka sebesar 2 poin persentase, menjadi 7% dari 5% saat ini.
Kenaikan ini memaksa bank-bank di negeri Presiden Xi Jinping ini untuk mempertahankan lebih banyak kepemilikan mata uang asing mereka, mengurangi jumlah yang dapat digunakan untuk mempengaruhi nilai tukar mata uang asing.
Ini adalah kenaikan pertama dalam 14 tahun sejak perubahan sebelumnya pada Mei 2007, sebelum krisis keuangan.
Para ekonom memperkirakan langkah PBOC tersebut akan mengurangi jumlah mata uang asing yang tersedia untuk perdagangan jangka panjang sebesar US$ 20 miliar.
Xu Hongcai, Wakil Direktur Komisi Kebijakan Ekonomi di Asosiasi Ilmu Kebijakan China, menilai pihak berwenang China berusaha untuk menjaga ekonomi tumbuh dengan stabil ketika dunia berusaha untuk pulih dari goncangan pandemi virus corona tahun lalu.
Namun, kebijakan moneter Beijing telah menyimpang dari AS dan negara-negara maju utama, membuat aset China daratan lebih menarik bagi investor global.
Obligasi pemerintah China 10-tahun menghasilkan imbal hasil (yield) sekitar 3,07%, sementara mitra-nya AS memiliki imbal hasil obligasinya (US Treasury) yang jauh lebih rendah sekitar 1,62%.
Dengan demikian, menurut Xu Hongcai, kesenjangan dalam imbal hasil obligasi ini telah menciptakan lingkaran setan uang yang mengalir ke aset berdenominasi yuan dan memperkuat mata uang, yang pada gilirannya kemudian menarik lebih banyak modal asing.
Di sisi lain, analis tidak memperkirakan pergerakan besar dalam mata uang China tahun ini.
China Renaissance memperkirakan yuan akan bertahan di dekat 6,4 yuan terhadap dolar AS tahun ini dan tahun depan.
Macquarie mengantisipasi yuan akan sedikit melemah menjadi 6,55 versus dolar AS karena meningkatnya ekspektasi kebijakan moneter yang lebih ketat di AS, surplus perdagangan yang moderat dan saluran baru bagi modal China untuk meninggalkan negara itu.
Pada Mei, analis Morgan Stanley menyesuaikan perkiraan mereka lebih lemah menjadi 6,48 yuan per dolar pada akhir tahun ini, dibandingkan 6,25 yuan sebelumnya. Bank investasi tidak memperbarui analisis untuk dibagikan pada Selasa malam.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Liputan6.com