Ancaman Trump ke China & Arab, Picu Harga Minyak Rontok
Harga minyak mentah kontrak berjangka ambles pada awal pekan ini menyusul pemberitaan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali berusaha menabuh genderang perang dagang dengan China.
Belum juga pandemi Covid-19 selesai, isu ketegangan hubungan bilateral Washington-Beijing muncul lagi. Trump menuduh China telah melakukan kesalahan besar yang berakibat pada merebaknya pandemi Covid-19.
“Pendapat saya adalah mereka melakukan kesalahan. Mereka mencoba menutupinya, mereka berusaha memadamkannya. Ini seperti api, “kata Trump. “Kau tahu, ini benar-benar seperti mencoba memadamkan api dan mereka tidak bisa memadamkan api. ” melansir CNBC International.
Trump tak bisa menerima fakta tersebut lantaran ekonomi Negeri Paman Sam juga menjadi korban ganasnya pandemi. Prioritas AS di bawah Trump sekarang lebih ke menyorot peran China yang dianggapnya sebagai sumber masalah utama pandemi yang saat ini merebak.
Kesepakatan dagang antara Washington dan Beijing pun dinomor duakan untuk saat ini. Trump juga dikabarkan mengancam akan menerapkan tariff tambahan untuk Beijing
“Kami menandatangani kesepakatan perdagangan di mana mereka seharusnya membeli, dan mereka sebenarnya telah membeli banyak. Namun sekarang itu menjadi prioritas kedua akibat virus ini,” kata Trump kepada wartawan. “Situasi [merebaknya] virus tidak dapat diterima” tambahnya sebagaimana diwartakan oleh Reuters.
Ancaman Trump tersebut kembali memunculkan kekhawatiran bahwa perang dagang antara dua raksasa ekonomi global akan kembali berkecamuk dan membuat prospek ekonomi malah tambah suram.
Akibatnya harga minyak mentah pun anjlok. Hara minyak Brent pengiriman Juni 2020 turun 2,08% ke US$ 25,89/barel. Sementara di saat yang sama harga minyak mentah acuan AS yakni West Texas Intermediate (WTI) ambrol lebih dalam dengan koreksi 6,72% ke US$ 18,45/barel.
Maklum, ketika perekonomian loyo, maka permintaan akan bahan bakar juga ikut melambat. Sebagai akibatnya harga minyak juga ikut terpangkas. Pandemi memang belum benar-benar berakhir. Pelonggaran pembatasan sosial di berbagai negara terutama Eropa dan Australia tak serta merta membuat permintaan minyak langsung pulih.
Di sisi lain menginjak bulan Mei kartel minyak global yakni Arab, Rusia dan koleganya yang tergabung dalam OPEC+ mulai akan memangkas produksi sebesar 9,7 juta barel per hari (bpd).
Langkah ini akhirnya diambil setelah AS dikabarkan menekan Arab akan mencabut pasukannya jika produksi segera tidak dipangkas. Ultimatum yang dikeluarkan Trump ini merupakan bagian dari upaya AS untuk melindungi industri migasnya.
Di sisi lain pada bulan April lalu, produksi migas Rusia justru tercatat naik. Rusia meningkatkan produksi kondensat minyak dan gas (migas) pada April lalu menjadi 46,45 juta ton, atau setara dengan 11,35 juta barel per hari (bpd), naik 0,53% dari Maret yakni sebesar 11,29 juta bpd.
Jika benar dalam kondisi seperti ini Trump akan mengeksekusi ancamannya tersebut, maka harga minyak berpotensi terkoreksi lagi. Ke depan pergerakan harga minyak juga dipengaruhi oleh seberapa patuh OPEC+ dalam memangkas produksi minyaknya dan seberapa cepat permintaan minyak pulih.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Bisnis.com