Jelang Pemilu, Rupiah Makin Kuat!
Dalam tiga kali perhelatan Pemilu Presiden (Pilpres) pasca-krisis ekonomi 1998, nilai tukar rupiah selalu menunjukkan tren penguatan dalam sepekan sebelum pencoblosan.
Pergerakan rupiah jelang Pilpres bisa memberikan gambaran optimisme pelaku pasar akan stabilitas politik. Rupiah yang menguat bisa menggambarkan sentimen positif dari para investor, begitu juga sebaliknya.
Begitupun pada Pilpres tahun ini, mempertemukan dua kandidat yang sebelumnya bertarung pada Pemilu 2014 yakni petahana Joko Widodo (Jokowi) bersama Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto yang menggandeng Sandiaga Uno.
Meskipun masa pencoblosan di depan mata, Pemilu yang kerap kali dianggap dapat memberikan sentimen negatif bagi nilai tukar, tak terlihat. Bahkan, mata uang Garuda melanjutkan tren penguatannya.
Awal pekan ini menjadi saat yang indah buat rupiah. Mata uang Tanah Air berhasil menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan menjadi yang terbaik di Asia.
Pada Senin (15/4/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.055 kala penutupan pasar spot. Rupiah menguat 0,25% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Penguatan ini membuat rupiah terapresiasi selama 3 hari berturut-turut di hadapan dolar Paman Sam. Selama periode ini, rupiah sudah menguat sebesar 0,64%.
Bank Indonesia (BI) sebagai garda terdepan penjaga stabilitas nilai tukar, pun memberikan ruang lebih bagi rupiah untuk terus menunjukkan keperkasaannya karena saat ini rupiah masih terlalu murah (undervalued).
“Kami akan tetap memberikan ruang yang besar bagi Rupiah untuk terus menguat sesuai mekanisme pasar,” kata Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Nanang Hendarsah.
Faktor eksternal dan domestik memang sama-sama mendukung rupiah untuk menguat. Dari sisi eksternal, rupiah bersama mata uang negara di Asia berhasil memanfaatkan kondisi dolar AS yang sedang tertekan.
Faktor penekan dolar AS hari ini adalah aura damai dagang AS-China yang kian terasa. Mengutip Reuters, dua orang sumber mengungkapkan bahwa Washington melunak dan bersedia mengurangi tuntutannya kepada Beijing.
Kala dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok global akan kembali menggeliat.
Investor, kini boleh berharap pertumbuhan ekonomi global yang lebih baik, sehingga investor kini kurang meminati aset-aset aman seperti dolar AS. Akhirnya, investor meninggalkan dolar, dan beralih ke sejumlah mata uang, tak terkecuali rupiah.
Selain itu, rupiah juga terbantu oleh penurunan harga minyak dunia yang sekaligus menjadi kabar gembira. Saat harga minyak turun, tentu biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah.
Semakin sedikit devisa yang ‘terbakar’ untuk mengimpor minyak akan menyebabkan beban transaksi berjalan (current account) berkurang sehingga rupiah punya fondasi yang lebih kuat.
Sedangkan dari dalam negeri, rupiah terbantu oleh rilis data perdagangan internasional, dikutip dari catatan Tim Riset CNBC Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 540 juta pada Maret.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatat surplus dalam 2 bulan beruntun. Pada Februari, surplus neraca perdagangan adalah US$ 330 juta.
Neraca perdagangan adalah salah satu bagian dari transaksi berjalan. Sebab transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Pasokan valas dari sektor perdagangan ini lebih setia, lebih bertahan lama ketimbang investasi portofolio di sektor keuangan alias hot money. Ketika neraca perdagangan dapat dijaga surplus, maka ada harapan transaksi berjalan membaik.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Warta Ekonomi
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]