Perang Dagang dengan AS Memanas, China Tetap Surplus
Surplus perdagangan China dari Amerika Serikat (AS) meningkat US$2,96 miliar atau 10,53 persen menjadi US$31,05 miliar pada Agustus 2018 dari US$28,09 miliar pada Juli lalu. Sementara secara kumulatif dari Januari-Agustus 2018, surplus perdagangan China dari AS tumbuh 15 persen. Capaian ini merupakan rekor tertinggi surplus perdagangan China dari AS pada tahun ini, meski perang dagang antara kedua negara justru kian memanas.
Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump baru saja mengumumkan rencana pengenaan tarif bea masuk impor baru senilai US$267 miliar kepada produk asal China. Sebelumnya, AS juga sudah memberlakukan tarif impor tinggi kepada China. Meski begitu, China berhasil membukukan surplus perdagangan dari AS lantaran nilai ekspor mencapai US$44,4 miliar atau tumbuh sekitar 9,8 persen dari bulan sebelumnya.
Pertumbuhan ekspor itu sejatinya di bawah perkiraan para analis yaitu di kisaran 10,1 persen dan di bawah realisasi pertumbuhan pada Juli 2018 sekitar 12,2 persen. Namun, kinerja ekspor masih lebih tinggi dibandingkan nilai impor yang hanya sekitar US$13,3 miliar atau tumbuh melambat ke kisaran 2,7 persen dari sebelumnya mencapai 11,1 persen pada Juli 2018.
Ekonom Zhonghai Shengrong Capital Management Zhang Yi menilai surplus perdagangan China dari AS berhasil meningkat lantaran perekonomian Negeri Paman Sam tumbuh positif. Hal itu membuat industri domestik AS tetap membutuhkan bahan baku impor dari China. “Masih ada dampak dari front-loading ekspor, tetapi alasan utama (untuk pertumbuhan ekspor China yang solid) adalah pertumbuhan yang kuat dalam perekonomian AS,” ujarnya, seperti dikutip dari Reuters, Minggu (8/9).
Kendati begitu, ia memperkirakan pertumbuhan surplus perdagangan China ke depan berpotensi menurun dalam beberapa bulan ke depan, seiring dengan meningkatnya serangan tarif impor tinggi dari AS.Senada, Analis Bank of Communications Liu Xuezhi memperkirakan laju ekspor China akan menyusut dalam beberapa waktu ke depan.
Hal ini tercermin dari hasil survei industri manufaktur China yang menunjukkan bahwa permintaan global akan produk dari Negeri Tirai Bambu mulai berkurang. “Risiko telah meningkat karena dampak negatif dari gesekan perdagangan China-AS. Dampak pada ekspor secara bertahap mulai muncul dengan pertumbuhan ekspor di masa depan yang mungkin menurun,” pungkasnya.
Sumber Berita : cnnindonesia.com
Sumber foto : Waspada Online
[social_warfare buttons = “Facebook, Pinterest, LinkedIn, Twitter, Total”]