Dolar Tembus Rp15.800, Rupiah Terlemah Sejak April 2020

Rupiah terdepresiasi signifikan di tengah sesi perdagangan hari ini (19/10/2023) di saat selisih antara US Treasury dan SBN tenor 10 tahun semakin tipis serta bank sentral AS (The Fed) yang tampak masih belum mau bersikap dovish.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah menembus level psikologis Rp15.800/US$ dan bahkan sempat menyentuh Rp15.820/US$ atau melemah 0,60%. Posisi ini merupakan yang terlemah sejak 8 April 2020 atau sekitar 3,5 tahun terakhir.

Sementara untuk negara Asia lainnya bergerak mix, ringgit Malaysia terdepresiasi 0,38%, peso Filipina melemah 0,16%, won Korea Selatan juga melemah 0,29. Sedangkan dolar Hongkong menguat tipis 0,01%, rupee India terapresiasi 0,04%, dan yuan China menguat 0,02%.

Pelemahan rupiah ini tak lepas dari pergerakan US Treasury tenor 10 tahun yang kembali mencetak rekor tertinggi sejak 16 tahun terakhir atau sejak 2007.

Pada 18 Oktober 2023, tercatat imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun di angka 4,902 sementara imbal hasil SBN tenor 10 tahun di angka 6,915. Jika dikalkulasikan, selisih antara keduanya yakni 201 basis poin (bps).

Hal ini dapat memicu semakin besarnya capital outflow dari domestik karena imbal hasil SBN kurang cukup menarik jika dibandingkan dengan US Treasury yang mana secara rating jauh lebih tinggi dibandingkan SBN.

Sebagai informasi, berdasarkan catatan BI merujuk pada data transaksi 9-12 Oktober 2023, investor asing mencatat net sell sebesar Rp 4,32 triliun. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pekan sebelumnya (2-5 Oktober 2023) sebesar net sell Rp 2,5 triliun.

Net sell sudah terjadi sejak September 2023 dan membuat rupiah tembus level ke Rp 15.700, terendah sejak 28 Desember 2022 atau 10 bulan terakhir.

Apalagi pasar melihat The Fed masih belum akan melonggarkan suku bunga dalam waktu dekat. Terlebih, inflasi AS tetap tinggi yakni 3,7% (year on year/yoy) pada September 2023. Laju inflasi jauh di atas target The Fed yakni di kisaran 2%.

Perangkat FedWatch Tool menunjukkan 4,1% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada November mendatang. Sementara persentase lebih besar diproyeksikan pasar yakni pada pertemuan Desember sebesar 36,2% pelaku pasar meyakini The Fed akan menaikkan suku bunganya.

Jika suku bunga The Fed kembali dinaikkan di penghujung tahun 2023, maka tendensi untuk rupiah kembali melemah akan semakin besar mengingat imbal hasil US Treasury berpotensi kembali mencetak rekor tertingginya dan capital outflow dari Indonesia kemungkinan akan semakin deras terjadi.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Sindonews.com

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *