Dolar Tergelincir saat Data Ekonomi AS Suram
Mata uang dolar AS tergelincir terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB). Penurunan ini terjadi setelah data menunjukkan ekonomi Amerika Serikat (AS) mengalami kontraksi untuk kuartal kedua berturut-turut, sehingga memicu spekulasi Federal Reserve (Fed) tidak akan menaikkan suku bunga secara agresif seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Dikutip dari Antara, Jumat, 29 Juli 2022, Indeks dolar yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,09 persen menjadi 106,3490. Dolar AS jatuh ke level terendah enam minggu terhadap yen pada Kamis, 28 Juli 2022, mengikuti penurunan imbal hasil obligasi pemerintah, membukukan persentase penurunan harian terbesar terhadap yen sejak pertengahan Maret 2020.
Di pasar obligasi pemerintah AS, imbal hasil dua tahun, yang mencerminkan ekspektasi suku bunga, turun ke level terendah tiga minggu dari puncaknya pada Rabu, 27 Juli 2022, setelah merosot 24 basis poin.
Pada akhir perdagangan New York, euro turun menjadi USD1,0178 dari USD1,0198 pada sesi sebelumnya, dan poundsterling Inggris turun menjadi USD1,2148 dari USD1,2166 pada sesi sebelumnya. Dolar Australia turun menjadi USD0,6975 dari US0,7000.
Dolar AS dibeli 134,33 yen Jepang, lebih rendah dari 136,48 yen Jepang pada sesi sebelumnya. Dolar AS turun menjadi 0,9552 franc Swiss dari 0,9593 franc Swiss, dan turun menjadi 1,2822 dolar Kanada dari 1,2834 dolar Kanada.
Departemen Perdagangan AS melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS menyusut pada tingkat tahunan 0,9 persen pada kuartal kedua setelah mengalami kontraksi 1,6 persen pada kuartal sebelumnya. Para ekonom yang disurvei oleh The Wall Street Journal memperkirakan kenaikan 0,3 persen dalam PDB kuartal kedua.
Sementara itu pengeluaran konsumen tumbuh pada laju paling lambat dalam dua tahun dan pengeluaran bisnis berkontraksi, meningkatkan risiko ekonomi berada di puncak resesi.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen tidak mengesampingkan kemungkinan resesi, tetapi menolak untuk mengakui bahwa resesi sedang berlangsung setelah dalam dua kuartal PDB mengalami kontraksi – definisi singkat yang sering digunakan oleh para ekonom, jurnalis, dan analis pasar.
“PDB yang lemah jelas menunjukkan ekonomi yang melambat. Kami pikir inflasi yang lebih lemah akan mengikuti pertumbuhan yang lebih lemah,” kata Ahli Strategi Valas UBS, Vassili Serebriakov, di New York.
“Begitu itu terjadi, pasar akan melihat akhir dari siklus pengetatan dan itu mungkin akan merugikan dolar terutama terhadap yen,” pungkas dia.
Sumber : medcom.id
Gambar : Inews.id