2 Hari Ambruk 1% Lebih, Dolar Australia Akhirnya Bangkit

Pengumuman kebijakan moneter bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) membuat mata uangnya terpuruk pada perdagangan Selasa kemarin, melanjutkan kinerja negatif di awal pekan. Tetapi pada perdagangan hari ini, Rabu (8/9/2021) dolar Australia berhasil bangkit melawan rupiah.

Pada pukul 11:20 WIB, AU$ 1 setara Rp 10.536,71, dolar Australia menguat 0,42% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Kemarin, mata uang Negeri Kanguru ini merosot 0,81%, sementara sehari sebelumnya minus 0,53%, sehingga dalam 2 hari terakhir ambruk lebih dari 1%.

Bangkitnya dolar Australia melawan rupiah terjadi akibat adanya “taper tantrum mini” dimana beragam aset terpuruk akibat kenaikan yield obligasi AS (Treasury).

Yield Treasury tenor 10 tahun melesat lebih dari 5 basis poin ke 1,3766% yang merupakan level tertinggi sejak pertengahan Juli lalu. Alhasil, indeks dolar AS melesat 0,52%, artinya the greenback menguat cukup tajam.

Bursa saham AS (Wall Street) terpuruk. Harga emas dunia ambrol hingga 1,6%, bitcoin bahkan ikut jeblok hingga 10%.

“Taper tantrum mini” tersebut akhirnya membuat rupiah yang merupakan aset negara emerging market menjadi kurang diuntungkan, dan melemah. Tidak hanya melawan dolar Australia, tetapi juga terhadap mata uang lainnya.

Sementara itu kemarin, Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) memutuskan melakukan tapering atau pengurangan program pembelian obligasi (quantitative easing/QE). Tapering yang dilakukan RBA belum mampu mendongkrak kinerja mata uangnya, sebab jangka waktunya diperpanjang.

Program QE yang dilakukan RBA berbeda dengan yang dilakukan bank sentral AS (The Fed).

Keduanya memiliki kemiripan, yakni menetapkan nilai QE, jika RBA per minggu The Fed per bulan. perbedaannya QE yang dilakukan RBA memiliki jangka waktu, sementara The Fed tidak. Artinya, The Fed akan terus melakukan QE selama diperlukan, dan sebelum mengakhirinya akan dilakukan tapering. Stimulus moneter ala The Fed tersebut disebut open-ended.

Sementara RBA tidak perlu melakukan tapering terlebih dahulu sebelum mengakhiri program pembelian obligasinya. Disini, QE bank sentral pimpinan Philip Lowe ini memiliki kemiripan dengan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). Stimulus moneter ECB disebut Pandemic Emergency Purchasing Program (PEPP) dilakukan hingga Maret 2022, dengan nilai 1,85 triliun euro, Tetapi ECB tidak pernah menyebutkan berapa nilai per bulan atau pun per minggu QE yang dilakukan.

Jadi, QE yang dilakukan RBA nilainya sudah ditentukan per minggunya dan juga ada batas waktunya. RBA melakukan QE pertama kali dalam sejarah sejak November 2020 lalu, dengan nilai AU$ 100 miliar, dan dilakukan dengan melakukan pembelian obligasi sebesar AU$ 5 miliar per pekan.

Program tersebut berakhir di bulan ini, jika tidak diperpanjang artinya selesai, tidak perlu ada tapering. Tetapi RBA mengumumkan memperpanjang QE tetapi nilainya dikurangi menjadi AU$ 4 miliar per pekan, artinya melakukan tapering.

Pengumuman perpanjangan QE tersebut sebenarnya sudah dilakukan beberapa bulan lalu oleh RBA, tetapi saat itu menyatakan diperpanjang hingga November 2021.

Namun, dalam pengumuman kebijakan moneter kemarin, RBA memperpanjangnya hingga pertengahan Februari 2022, sekitar 4 bulan lebih lama. Alhasil, dolar Australia pun merosot kemarin sebelum akhirnya bangkit hari ini.

 

 

 

 

 

 

Sumber : .cnbcindonesia.com
Gambar : CNBC Indonesia

 

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *