Rupiah Mulai Dekati Rp 14.500/US$
Rupiah terpuruk di awal perdagangan Jumat (20/8/2021), semakin mendekati level Rp 14.500/US$. Dolar Amerika Serikat (AS) yang sedang kuat-kuatnya akibat kemungkinan tapering di tahun ini membuat Mata Uang Garuda tertekan sejak kemarin.
Melansir data Refinitiv, begitu bel perdagangan berbunyi rupiah langsung melemah 0,35% ke Rp 14.450/US$. Sempat memangkas pelemahan hingga stagnan di Rp 14.400/US$, rupiah akhirnya kembali ke zona merah hingga merosot 0,45% ke Rp 14.465/US$ pada pukul 9:15 WIB.
Rilis risalah rapat kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) edisi Juli yang menunjukkan peluang tapering atau pengurangan nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) di tahun ini, sebab inflasi dikatakan sudah mencapai target dan pemulihan pasar tenaga kerja juga hampir sesuai ekspektasi.
“Melihat ke depan, sebagian besar partisipan (Federal Open Market Committee/FOMC) mencatat bahwa selama pemulihan ekonomi secara luas sesuai dengan ekspektasi mereka, maka akan tepat untuk melakukan pengurangan nilai pembelian aset di tahun ini,” tulis risalah tersebut.
Peluang tapering di tahun ini semakin menguat setelah kemarin klaim tunjangan pengangguran dilaporkan sebanyak 348.000 pengajuan klaim, atau lebih baik dari proyeksi ekonom dalam polling Dow Jones yang memperkirakan angka 365.000 klaim baru. Selain itu angka tersebut merupakan yang terendah selama pandemi.
Membaiknya pasar tenaga kerja tentunya menjadi kabar bagus bagi perekonomian. Tetapi di sisi lain juga memberikan kabar buruk, yakni semakin menguatnya peluang tapering di tahun ini seperti yang tertuang dalam risalah The Fed.
Alhasil, indeks dolar AS melesat 0,46% ke 93,562, level tertinggi sejak 4 November tahun lalu.
Pernah terjadi di tahun 2013, tapering memicu capital outflow dari negara emerging market seperti Indonesia, dan memicu gejolak di pasar finansial global yang disebut taper tantrum. Saat itu dolar AS menguat tajam, dan rupiah terpuruk.
Bank Indonesia (BI) dalam pengumuman kebijakan moneter kemarin memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan. Langkah ini sesuai dengan ekspektasi pasar.
“Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 18-19 Agustus 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%,” sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI periode Agustus 2021, Kamis (19/8/2021).
Saat ini, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah menjadi fokus utama MH Thamrin.
Meski mempertahankan suku bunga, BI berkomitmen menjaga kecukupan likuiditas di perekonomian nasional. Ini dilakukan dengan injeksi likuiditas atau quantitative easing.
“Di pasar keuangan, kondisi likuiditas tetap longgar. Bank Indonesia akomodatif dalam mendukung pemulihan ekonomi nasional,” kata Perry.
Sementara itu guna meredam dampak tapering, Perry mengungkapkan sudah punya strategi bahkan sudah dilakukan sejak Februari lalu.
“(Tapering) akan menaikkan suku bunga pasar dan yield (imbal hasil) US Treasury Bond. Pada Februari yield sudah naik dan mempengaruhi appetite investor global di negara-negara berkembang, pada akhirnya itu juga mempengaruhi kita,” kata Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Agustus 2021.
BI, lanjut Perry, terus berupaya melakukan stabilisasi di pasar, terutama jika terjadi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Ini dilakukan di pasar valas maupun Surat Berharga Negara (SBN).
“BI sudah melakukan intervensi di pasar spot, DNDF (Domestic Non-Deliverable Forwards). Kemudian investor asing melepas SBN, BI sudah membeli Rp 8,6 triliun dari Rp 11 triliun yang keluar. Kami bersama Kementerian Keuangan mengelola ini agar tetap stabil,” jelas Perry.
Selain itu, tambah Perry, BI tetap menjaga daya tarik pasar keuangan Indonesia. Ini dilakukan dengan menjaga selisih yield antara SBN dan obligasi pemerintah di luar negeri, terutama AS.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Portonews.com