Parah! Harga Emas Sentuh Level Terendah dalam 9 Bulan

Tekanan terhadap harga emas masih berlanjut. Saat ini harga emas berada di posisi terendahnya hampir dalam sembilan bulan terakhir atau tepatnya sejak Juni tahun lalu.

Pada perdagangan pagi, Selasa (2/3/2021), harga emas di pasar spot naik 0,25% dibanding posisi penutupan kemarin. Harga emas dunia dipatok di US$ 1.725,58/troy ons pada 08.10 WIB.

Emas terjun bebas jika dibandingkan dengan minggu lalu ketika harganya masih menyentuh level US$ 1.800/troy ons. Harga logam kuning tersebut kemudian berbalik arah akibat kenaikan imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang sampai tembus 1,51%.

Kenaikan tersebut membuat pasar obligasi menjadi semakin kompetitif. Bayangkan saja imbal hasil dari obligasi bisa lebih tinggi dari dividen S&P 500. Kenaikan imbal hasil membuat biaya peluang memegang emas yang tak berimbal hasil menjadi naik dan emas pun kurang dilirik.

Kendati imbal hasil obligasi pemerintah AS sekarang sudah melandai tetapi harga emas malah anjlok. Penguatan dolar AS rupanya masih menjadi batu sandungan untuk harga emas kembali bergerak naik.

Ketika imbal hasil obligasi surat utang pemerintah AS turun, indeks dolar masih berada di rentang tertingginya dalam satu bulan terakhir. Harga emas yang mulai bergerak di bawah rata-rata harga 50 hariannya juga memicu terjadinya fenomena technicall selling di pasar sehingga membuat harga semakin tertekan.

Menurut kepala riset Pepperstone Chris Weston, tren bullish harga emas bakal terjadi ketika tiga prasyaratnya terpenuhi. Apabila inflasi cepat meningkat, investor akan berbondong-bondong memborong emas sebagai untuk lindung nilai.

Jika terjadi guncangan deflasi, emas akan mendapat keuntungan dari penurunan lebih rendah imbal hasil obligasi nominal dan riil. Terakhir, jika The Fed (bank sentral AS) memberi sinyal siap untuk membatasi suku bunga acuan tenor panjang, emas juga naik.

Hanya saja dalam waktu dekat Chris Weston belum melihat tanda-tanda tersebut. Namun, baik investor maupun para ekonom memperkirakan The Fed akan merubah kebijakannya di bulan ini guna meredam gejolak di pasar obligasi.

Ketua The Fed, Jerome Powell, pada rapat kebijakan moneter 16 – 17 Maret waktu setempat diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

The Fed sudah 2 kali menjalankan Operation Twist, pada 2011 dan 1961. CNBC International melaporkan pelaku pasar yang mengetahui perihal operasi tersebut mengatakan jika The Fed sudah menghubungi dealer-dealer utama untuk menjalankan operasi tersebut.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

“Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami,” kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Cabana menyebut Operation Twist “membunuh tiga burung dengan satu batu”. Yang pertama menaikkan yield jangka pendek, kemudian stabilitas yield jangka panjang, serta tidak akan menaikkan balance sheet.

Ke depan emas masih sulit untuk menguat ketika para pelaku pasar cenderung spekulatif dan agresif memburu aset-aset berisiko di tengah kebijakan makro yang dipertahankan tetap akomodatif.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Tribunnews.com

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *