Harga Turun Minyak Saat Ekonomi China Pulih, Kok Bisa?
Harga minyak mentah untuk kontrak yang aktif ditransaksikan di bursa berjangka melemah di pagi hari ini Senin (19/10/2020). Kekhawatiran kelebihan pasokan (oversupply) masih terus membayangi dan berpotensi menekan harga emas hitam lebih jauh.
Pada 09.35 WIB, harga minyak berjangka acuan global Brent turun 0,33% ke US$ 42,79/barel. Untuk minyak berjangka acuan Amerika Serikat (AS) yakni West Texas Intermediate (WTI) juga terpangkas 0,34% ke US$ 40,74/barel.
Baru saja, tepatnya pukul 09.00 WIB, Biro Statistik China mengumumkan pertumbuhan PDB Negeri Tirai Bambu untuk kuartal tiga berada di angka 4,9% (yoy). Meski berada di zona positif tetapi lebih rendah dari konsensus pasar di angka 5,2%.
Pertumbuhan ekonomi China yang positif tak serta-merta membawa harga minyak mentah terbang, kendati China merupakan salah satu importir dan konsumen minyak terbesar di dunia.
Tingginya stok dan adanya kebijakan kuota impor membuat China diperkirakan bakal mengerem impor minyaknya di kuartal empat nanti. Di sisi lain kasus infeksi Covid-19 yang terus merebak di berbagai belahan dunia terutama Eropa menjadi ancaman terbesar bagi pemulihan permintaan minyak.
Dalam rapat terbaru Organisasi Negara Eksportir Minyak dan aliansinya (OPEC+) yang digelar Kamis pekan lalu para panel ahli (JTC) mulai khawatir jika kondisi ini berkembang maka surplus minyak akan berlanjut ke tahun depan.
Masalahnya tahun depan mulai bulan Januari, produksi minyak OPEC+ hanya akan dipangkas 5,7 juta barel per hari (bpd) saja jika mengacu pada kesepakatan awal. Angka tersebut lebih rendah dari pemangkasan output yang tengah dijalankan sekarang sebesar 7,7 juta bpd yang akan berakhir di bulan Desember.
Kondisi oversupply membuat harga minyak tertekan. Dalam sebuah laporan, OPEC+ memperkirakan pasokan minyak bakal defisit 1,9 juta bpd tahun depan di bawah skenario normal. Namun dalam skenario terburuk bisa surplus 200 ribu bpd.
OPEC+ juga mengantisipasi kenaikan output minyak Libya pasca dibukanya blokade terhadap ladang minyak raksasa negara tersebut.
Di bawah skenario terburuk dokumen itu, produksi Libya akan meningkat pada 2021 menjadi sebanyak 1,1 juta bpd. Di bawah kasus dasarnya, output Libya akan menjadi 600.000 bpd pada tahun 2021.
Panel menteri OPEC+, yang dikenal sebagai Komite Pemantau Bersama Kementerian (JMMC), akan mempertimbangkan prospek saat bertemu pada hari Senin. JMMC dapat membuat rekomendasi kebijakan. Para menteri perminyakan dari negara-negara OPEC+ dijadwalkan bertemu kembali pada 30 November – 1 Desember nanti.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : CNBC Indonesia