Militer Filipina Desak Darurat Militer usai Serangan Bom Jolo

Angkatan bersenjata Filipina mendesak pemerintah untuk kembali menerapkan status darurat militer, usai dua serangan bom di Jolo pada Senin (24/8) lalu yang menewaskan 15 orang.

“Situasinya mengharuskan hal itu (darurat militer),” kata Panglima Angkatan Darat Filipina, Letjen, Cirilito Sobejana, seperti dilansir Philippine Inquirer, Rabu (26/8).

Dua ledakan bom yang diduga serangan bunuh diri itu terjadi di dua lokasi di Jolo. Korban meninggal adalah tentara, polisi dan warga sipil.

Sementara korban luka mencapai 75 orang. Serangan itu dinilai yang cukup mematikan, sejak bom bunuh diri di sebuah gereja di Jolo pada Januari 2019 yang menewaskan 20 orang dan melukai sekitar seratus orang.

Serangan bom bunuh diri pada Januari lalu dilakukan oleh pasangan suami istri dari Indonesia.

Pemerintah Filipina mencabut status darurat militer di Provinsi Otonomi Muslim Mindanao sejak akhir 2019, dua tahun setelah milisi yang menyatakan bergabung dengan ISIS sempat menduduki kota Marawi.

Sobejana menilai dengan menerapkan darurat militer, mereka yakin bisa membawa kehidupan kembali normal dan mengendalikan pergerakan teroris.

“Pergerakan penduduk yang harus dikendalikan. Jika tidak, maka akan terjadi lagi dan penduduk setempat yang menjadi korban,” ujar Sobejana.

Kepolisian Filipina juga mendukung gagasan untuk menerapkan kembali darurat militer usai serangan bom.

“Dengan darurat militer akan memberikan keleluasaan kepada polisi dan tentara untuk menggelar operasi penegakan hukum terhadap ancaman teror domestik, kata Kepala Kepolisian Filipina, Jenderal Archie Gamboa.

Di sisi lain, Senator Panfilo Lacson menilai saat ini tidak perlu menerapkan status darurat militer karena pemerintah sudah menyetujui undang-undang antiterorisme yang dinilai cukup keras.

Gagasan Lacson didukung oleh Presiden Senat, Vicente Sotto III, dan Senator Ronald dela Rosa.

Kelompok teroris Negara Islam (ISIS) mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri di Jolo.

Sobejana menyatakan kedua pelaku bom bunuh diri pada Senin lalu adalah perempuan. Diduga mereka adalah janda dari pelaku bom bunuh diri pertama asal Filipina, Norman Lasuca, dan tokoh kelompok Abu Sayyaf, Talha Jumsah alias Abu Talha.

Talha disebut menjadi penghubung antara faksi Abu Sayyaf pimpinan Hadjan Sawadjaan dengan ISIS. Hadjan dilaporkan meninggal dalam baku tembak di hutan dengan tentara Filipina, dan kini digantikan sang keponakan Mundi Sawadjaan.

Lasuca tewas dalam serangan bom bunuh diri di kamp Brigade ke-1 Regu Tempur di Sulu. Sedangkan Talha meninggal dalam baku tembak dengan aparat keamanan di Sulu.

Menurut Kepala Institut untuk Perdamaian Filipina, Rommel Banlaoi, ada dugaan satu pelaku serangan bom adalah anak dari pasutri WNI yang melakukan serangan di Gereja Our Lady of Mount Carmel. Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, menyatakan belum bisa mengkonfirmasi dugaan tersebut.

“Dubes RI di Manila dan Konjen RI di Davao terus memantau dari dekat peristiwa ini dan berkomunikasi secara intensif dengan otoritas Filipina.

Otoritas Filipina sedang melakukan investigasi guna memastikan identitas pelaku,” kata Faizasyah.

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *