Harga Minyak Anjlok, Ratusan Perusahaan AS Terancam Bangkrut
Anjloknya harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) diyakini membuat banyak perusahaan minyak bangkrut. Pasalnya, banyak perusahaan minyak memiliki utang jauh sebelum krisis kesehatan akibat virus corona.
Dikutip dari CNN.com, Selasa (21/4), kemungkinan perusahaan minyak AS sulit bertahan mengalami penurunan harga minyak sepanjang sejarah ini.
Hitung-hitungan Analis Rystad Energy Artem Abramov, jika harga minyak jatuh ke posisi US$20 per barel, maka ada 533 perusahaan yang mengajukan pailit. Sementara, jika harga minyak AS menyentuh level US$10 per barel, jumlah perusahaan yang bangkrut berlipat menjadi 1.100.
“Dengan US$10 per barel, hampir setiap perusahaan E&P Amerika Serikat yang memiliki utang harus mengajukan bab 11 (pailit) atau mempertimbangkan peluang strategis,” kata Abramov.
Bab 11 adalah salah satu bab dalam Undang-undang Kepailitan AS tentang reorganisasi sesuai hukum. Bidang usaha berbentuk apapun bisa meminta perlindungan mengacu aturan tersebut.
Emiten sektor energi dalam S&P 500 telah kehilangan lebih dari 40 persen nilai sahamnya sepanjang tahun ini. Walaupun, sempat terjadi rebound dalam sebulan terakhir.
Noble Energy, Halliburton, Marathon Oil, dan Occidental, telah kehilangan lebih dari dua pertiga dari nilai perusahaan. Bahkan nilai saham anggota Dow, ExxonMobil turun 38 persen.
Whiting Petroleum menjadi ‘domino’ pertama yang jatuh ketika mereka mengajukan perlindungan bab 11 pada 2 April lalu. Tetapi, jelas itu bukan perusahaan terakhir yang mengajukan pailit.
Dengan skenario harga minyak mentah US$20 per barel, Rystad memperkirakan lebih dari US$70 miliar utang perusahaan minyak akan direstrukturisasi. Diikuti oleh US$177 miliar tumpukan utang pada 2021 mendatang.
Jumlah utang merupakan perkiraan eksplorasi dan produksi, bukan industri jasa yang menyediakan alat dan tenaga bagi pembor.
“Kuncinya adalah berapa lama harga minyak tetap murah. Rebound harga yang cepat bisa membuat banyak perusahaan minyak terhindar dari kebangkrutan,” tutur Rystad.
Sementara itu, Ketua Praktik Energi Houston Haynes and Boone Buddy Clark mengatakan perusahaannya sangat sibuk menangani potensi kebangkrutan akibat harga minyak jatuh. Haynes dan Boone telah dipaksa untuk menarik pengacara dari perusahaan area lain untuk menangani masalah tersebut.
“Saya tidak berpikir saya pernah melihat hal seperti itu dalam hidup saya. Ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Clark, yang mulai bekerja di industri ini pada 1982 silam.
Clark berpikir, meskipun harga minyak bisa kembali naik, masih akan ada 100 perusahaan minyak yang terancam bangkrut pada tahun ini.
“Sulit untuk percaya bahwa 100 perusahaan bangkrut adalah pandangan optimis. Itu hanya menunjukkan di mana kita berada,” katanya.
Clark melanjutkan prospek yang ‘mengerikan’ dalam industri minyak akan membuat sulit perusahaan-perusahaan yang berusaha melakukan reorganisasi dalam hukum kepailitan.
Harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate anjlok hingga minus US$37,63 per barel untuk kontrak pengiriman Mei.
Penurunan terbesar ini terjadi pertama kali dalam sejarah karena kelebihan pasokan minyak di tengah pandemi virus corona yang melanda negara-negara di dunia.
Dikutip dari Antara, Selasa (21/4), minyak mentah berjangka WTI untuk pengiriman Mei merosot US$55,9 atau lebih dari 305 persen ke level minus US$37,63 per barel di New York Mercantile Exchange.
Sebelum penutupan, harga tersebut bahkan sempat menyentuh titik terendah sepanjang masa, yakni minus US$40,32 per barel.
Berdasarkan Dow Jones Market Data, harga minyak negatif menyiratkan bahwa produsen akan membayar pembeli untuk mengambil minyak dari tangan mereka. Ini menandai pertama kalinya kontrak berjangka minyak diperdagangkan negatif dalam sejarah. Kontrak Mei sendiri akan habis dan berakhir hari ini.
Sementara itu, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni turun U$2,51 atau sekitar sembilan persen menjadi US$25,57 dolar di London ICE Futures Exchange. Penurunan Brent tidak sederas WTI, karena lebih banyak tempat penyimpanan tersedia di seluruh dunia.
Para analis melihat pedagang akan bergegas untuk membongkar posisi mereka menjelang berakhirnya kontrak yang berkontribusi pada penurunan bersejarah.
“Kami menghubungkan pelemahan harga WTI dengan berakhirnya kontrak Mei besok dan volume perdagangan rendah yang menyertainya,” kata Giovanni Staunovo, Analis Komoditas di UBS Global Wealth Management.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia