Lika-liku Markus Horison Si Legenda Timnas Indonesia
Banyak yang bertanya-tanya mengapa karier sepak bola saya terlalu cepat tenggelam? Bagi saya tidak demikian. Karena segala sesuatu yang pernah datang dan pergi, saya jalani dengan ikhlas dan penuh rasa syukur.
Izinkan saya menceritakan lika-liku kehidupan yang pernah saya lalui saat masih menjadi pesepakbola, termasuk ketika pernah membela Timnas Indonesia. Terlahir dengan nama Markus Horison hingga menjadi mualaf dan mengganti nama jadi Markus Haris Maulana atau Muhammad Haris Maulana.
Terserah kalian mau panggil saya dengan sebutan yang mana. Karena saya adalah saya. Dan, segala keputusan dalam hidup saya dilakukan secara sadar tanpa paksaan.
Sejak kecil saya tak pernah berpikir untuk menjadi pemain bintang. Karena awalnya sepak bola hanya sebatas hobi dan merasa tidak memiliki bakat spesial.
Semula kiper adalah posisi yang paling saya hindari saat bermain sepak bola. Tugas sebagai striker atau bek lebih sering saya mainkan hingga akhirnya ‘terpaksa’ jadi kiper.
Tidak seperti pesepakbola lainnya, saya terbilang telat ikut SSB, yakni saat SMP. Pelatih di SSB Brandan Putera tiba-tiba menunjuk saya sebagai kiper cadangan. Mungkin karena postur saya cukup tinggi.
Sebenarnya saya merasa terpaksa. Tapi jika menolak, saya tidak masuk tim untuk bermain di turnamen SSB. Saya mendapat kesempatan bermain beberapa kali, tapi SSB kami kalah karena saya memang tak pandai jadi kiper saat itu.
Ternyata keputusan pelatih SSB saya membawa berkah. Seiring dengan waktu saya makin merasa mantap bahwa penjaga gawang adalah posisi ideal saya.
Untuk tambah pengetahuan saya sering bergadang nonton siaran langsung pertandingan Liga Italia di televisi. Maklum, internet masih jadi barang langka dan saya belum kenal Youtube.
Saya menunggu-nunggu penampilan Gianluca Pagliuca (Inter Milan), Gianluigi Buffon (Parma), dan Dida (AC Milan). Jujur, saya jadi makin percaya dan nekat ikut seleksi PPLP Sumatera Utara.
Alhamdulillah dari 50 peserta saya berhasil lolos seleksi bersama dua kiper lainnya. Banyak pelajaran yang saya petik selama tiga tahun di PPLP. Saya terbiasa kerja keras meski jarang terpilih sebagai kiper utama.
Setelah lulus saya menjalani karier di klub-klub kampung. Mulai PSL Langkat, PSKB Binjai, PS Batam, hingga akhirnya mencoba seleksi di klub idola saya PSMS Medan pada 2002.
Sayang saat itu saya belum dilirik PSMS. Beruntung mendapat tawaran langsung dari manajemen Persiraja Banda Aceh yang sedang menjalani pemusatan latihan di Medan. Tanpa pikir panjang, saya terima.
Setelah setahun membela Persiraja, PSMS justru melirik saya. Mungkin karena sudah lihat penampilan saya langsung. Waktu itu Persiraja pernah mengalahkan PSMS di Stadion Teladan, Medan.
Terhindar dari Tsunami
Persiraja sebenarnya ingin memperpanjang kontrak saya setahun lagi. Tapi, saya tak bisa menolak tawaran PSMS, klub impian saya sejak kecil. Manajemen Persiraja akhirnya merestui meskipun berat rasanya meninggalkan sahabat-sahabat saya di Aceh.
Saya percaya ada campur tangan Allah saat memutuskan gabung PSMS. Pada 2004 beberapa teman setim saya di Persiraja meninggal karena bencana tsunami di Aceh. Termasuk sahabat saya, striker legendaris Persiraja, Irwansyah.
Irwansyah adalah salah satu pemain yang meminta saya bertahan di Persiraja. Namun, dia akhirnya mengerti setelah saya jelaskan bahwa PSMS klub impian saya.
Saya janji kalau nanti tak betah di PSMS akan kembali ke Persiraja di musim berikutnya. Tapi, apa daya. Itu menjadi perbincangan terakhir kami.
Tanggal 26 Desember 2004 menjadi akhir perjalanan hidup Irwansyah. Jasadnya hilang diterjang tsunami bersama lebih 200 ribu korban lainnya. Saya banyak merenung usai tsunami Aceh. Mungkin saya juga bisa jadi korban jika saat itu memilih lanjut bermain untuk Persiraja. Tapi, Allah punya rencana lain untuk saya.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : jambi.tribunnews.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]