Efek Ekonomi Global, Defisit APBN Juli Melebar ke 1,14 Persen
Kementerian Keuangan mencatat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp183,7 triliun atau 1,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) per 31 Juli 2019. Posisi defisit anggaran Juli 2019 lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar Rp135,8 triliun atau 0,84 persen terhadap PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pelebaran defisit terjadi karena realisasi belanja negara meroket. Sementara itu, penerimaan negara tak mampu menyeimbangkan laju belanja karena tekanan gejolak ekonomi global, seperti ketidakpastian ekonomi hingga fluktuasi harga komoditas di pasar internasional.
“Realisasi defisit tidak serendah yang direncanakan karena penerimaan negara lebih lemah dan belanja negara yang sangat kuat. Realisasi semua pos penerimaan memperlihatkan ekonomi kita tertekan gejolak ekonomi global karena ekspor turun dan harga komoditas bergejolak turun,” ujar Sri Mulyani di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (26/8).
Dari sisi penerimaan, kantong keuangan negara telah terisi sebanyak Rp1.052,8 triliun atau 48,6 persen dari target penerimaan senilai Rp2.165,1 triliun pada akhir tahun. Pos penerimaan negara tumbuh 5,9 persen pada bulan ini atau lebih rendah dari Juli 2018 yang mencapai 16,5 persen.
Penerimaan berasal dari pendapatan negara yang mencapai Rp1.052 triliun dan hibah Rp800 miliar. Pendapatan negara disumbang oleh kantong perpajakan Rp810,7 triliun atau 45,4 persen dari target Rp1.786,4 triliun.
Pos yang selama ini menjadi penopang utama pendapatan negara itu hanya tumbuh 6,1 persen pada bulan lalu. Padahal, pada Juli 2018 mampu tumbuh hingga kisaran 16,2 persen.
“Meski begitu, dengan gejolak ekonomi global saat ini, penerimaan perpajakan masih cukup baik,” katanya.
Kemudian, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp241,3 triliun atau sudah mengisi 63,8 persen dari target Rp378,3 triliun. Penerimaan pos ini tumbuh 14,2 persen, namun lagi-lagi lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu mencapai 22,7 persen.
Di sisi lain, realisasi belanja sudah mencapai Rp1.236,5 triliun atau 50,2 persen dari target Rp2.461,1 triliun. Belanja negara tumbuh 7,9 persen atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang hanya 7,7 persen.
“Kalau tahun ini yang kuat justru belanja ke daerah, sedangkan tahun ini belanja kementerian/lembaga masih tumbuh, tapi lebih rendah dari tahun lalu,” jelasnya.
Rinciannya, belanja K/L sebesar Rp419,9 triliun atau 49,1 persen dari target Rp855,4 triliun. Pos belanja ini tumbuh 11,7 persen atau lebih rendah dari tahun lalu sebesar 14,3 persen.
Kemudian, belanja non K/L baru emncapai Rp341,6 triliun atau 43,9 persen dari target Rp778,9 triliun. Realisasi ini tumbuh 6,4 persen atau merosot tajam dari tahun lalu yang mencapai 16,4 persen.
Sementara belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp475,1 triliun atau 57,7 persen dari target Rp826, 8 triliun. TKDD tumbuh 5,9 persen dari sebelumnya minus 2,3 persen.
Sumbangan TKDD berasal dari transfer ke daerah yang mencapai Rp433,2 triliun atau 57,2 persen dari target Rp756,8 triliun dengan pertumbuhan mencapai 4,9 persen. Sedangkan realisasi dana desa sudah mencapai Rp41,9 triliun atau 59,8 persen dari target Rp70 triliun dengan pertumbuhan mencapai 16,8 persen.
Lebih lanjut, keseimbangan primer berada di posisi minus Rp25,1 triliun atau melebar dari target hanya minus Rp20,1 triliun. Kemudian selisih anggaran (silpa) berada di angka Rp46 triliun.
“Realisasi Silpa karena ada pembiayaan yang sifatnya front loading (penarikan pembiayaan di awal tahun),” tuturnya.
Kendati defisit melebar dan kian mendekati target defisit pada tahun ini sebesar 1,84 persen dari PDB, namun Sri Mulyani memastikan kementeriannya akan tetap menjaga agar realisasi defisit tetap sehat. Hal ini akan dilakukan dengan pengelolaan APBN yang semakin kredibel dan akurat.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Ilustrasi rupiah
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,T
witter,Total”]