Diserbu Dua ‘Perang’, Harga Emas Naik Lagi
Harga emas dunia masih terus menanjak dan berada di posisi tertinggi dalam enam tahun. Risiko perekonomian global yang meningkat akibat perang dagang dan perang mata uang (currency war) membuat investor banyak mengalihkan aset mereka ke bentuk safe haven.
Pada perdagangan hari Selasa (6/8/2019) pukul 09:00 WIB, harga emas kontrak pengiriman Desember di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat 0,42% ke level US$ 1.470,7/troy ounce (Rp 662.051/gram).
Adapun harga emas di pasar spot naik 0,18% menjadi US$ 1.466,19/troy ounce (Rp 660.021/gram).
Harga emas COMEX dan spot juga ditutup menguat masing-masing sebesar 0,49% dan 1,61% pada sesi perdagangan kemarin (5/8/2019).
Eskalasi perang dagang menjadi salah satu sentimen utama yang mendorong harga emas hingga saat ini.
Setelah Presiden AS, Donald Trump, mengancam akan mengenakan bea impor baru sebesar 10% atas produk asal China senilai US$ 200 miliar mulai 1 September 2019, China mulai mengeluarkan serangan balasan.
Juru bicara Kementerian Perdagagan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal negaranya telah menghentikan pembelian produk-produk agrikultus asal AS, seperti dikutip dari Reuters.
Tampaknya China benar-benar sudah berang dengan kelakuan AS, yang diwakili oleh Trump.
“Ini adalah pelanggaran serius dari hasil pertemuan antara Presiden China dan Presiden AS,” ujar Menteri Perdagangan China, dikutip dari CNBC International.
China merupakan salah satu pembeli terbesar produk-produk agrikultur AS. Bila pembelian tersebut terhenti, maka akan ada banyak petani AS yang terkena dampaknya.
Sayangnya, petani merupakan salah satu konstutien penting bagi Trump yang akan mengikuti pemilu tahun 2020 mendatang. Seharusnya ini pukulan telak bagi AS.
Perang dagang semakin tidak terlihat ujungnya dan bahkan semakin parah.
Selain itu, pemerintah China disinyalir ‘memainkan’ mata uangnya.
Hal itu terjadi sebelum sesi perdagangan kemarin dibuka, dimana Bank Sentral China (People Bank of China/PBOC) menetapkan nilai tengah mata uangnya di level CNY 6,922/US$ yang merupakan terendah sejak 3 Desember 2018.
Sementara pada akhir perdagangan kemarin kurs yuan ditutup pada level CNY 7,03/US$ yang merupakan posisi paling lemah sejak Maret 2008.
Di China, pegerakan nilai mata uang tidak murni hanya karena mekanisme pasar. PBOC punya wewenang untuk menetapkan nilai tengah mata uangnya di setiap sesi perdagangan. Dengan cara tersebut, otoritas moneter dapat mengatur batas pergerakan mata uangnya.
Ada kemungkinan hal itu dilakukan untuk memperkuat ekspor China. Karena ketika yuan melemah, harga produk-produk asal Negeri Tirai Bambu menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Alhasil harga ekspor akan lebih kompetitif di pasar global.
Jadi walaupun sulit masuk ke AS karena ada bea impor yang tinggi, barang-barang ‘murah’ asal China akan lebih mudah menembus pasar di negar-negara lain.
Beberapa analis bahkan memperkirakan pelemahan yuan akan terus berlanjut dan menembus level CNY 7,3/US$, seperti dikutip dari Reuters.
Trum dibuat geram dengan langkah yang diambil oleh pemerintah China, yang lagi-lagi dituangkan melalui cuitan di Twitter.
“China melemahkan mata uang mereka ke level terendah hampir sepanjang sejarah. Ini disebut ‘manipulasi mata uang’. Apakah Anda mendengarkan, wahai Federal Reserve? Ini adalah pelanggaran besar yang akan sangat melemahkan China dari waktu ke waktu!” tulis Trump melalui akun Twitter @realDonaldTrump.
Masih belum jelas langkah apa yang akan diambil oleh Washington selanjutnya. Namun jika kemudian banyak negara lain melakukan hal serupa (melemahkan mata uang demi menggenjot ekspor), maka terjadilah apa yang disebut perang mata uang.
Dalam kondisi seperti ini, tingkat ketidakpastian perekonomian global semakin membuncah. Investor semakin dibuat takut untuk masuk ke instrumen-instrumen berisiko.
Alhasil, emas banyak diburu karena sifatnya sebagai pelindung nilai (hedging).
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : FINROLL NEWS
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]