Harga Minyak Terpacu Panasnya Tensi Timur Tengah
Harga minyak mentah berjangka menguat pada perdagangan Selasa (9/7), waktu Amerika Serikat (AS). Kenaikan terjadi seiring memanasnya tensi di Timur Tengah dan kebijakan pemangkasan produksi dijalankan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Namun demikian, penguatan dibatasi oleh perang dagang AS-China yang telah menyeret pertumbuhan ekonomi global dan berimbas pada permintaan minyak.
Dilansir dari Reuters, Rabu (10/7), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,05 menjadi UA$64,16 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar Us$0,17 menjadi US$57,83 per barel.
Pekan lalu, OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia sepakat untuk memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi minyak hingga Maret 2020.
Harga Brent juga telah menanjak hampir 20 persen sejak awal 2019. Selain oleh kesepakatan OPEC, harga Brent mendapatkan topangan dari memanasnya tensi di Timur Tengah, terutama terkait program nuklir Iran.
Kemudian, pergerakan harga juga terpacu dorongan dari pemberitaan soal Iran. Dikutip dari kantor media Tasmin oleh Reuters, pejabat militer Iran berkomentar bahwa penahanan kapal tanker minyak Iran di pesisir Gibraltar oleh Inggris tidak akan didiamkan.
“Militer Iran berbicara tentang balasan situasi di Gibraltar telah membuat sedikit permintaan di pasar,” ujar Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York.
Tensi di Timur Tengah yang memanas membuat konflik hampir terjadi antara Iran dan AS. Pada Selasa (9/7) kemarin, Uni Eropa mendesak Iran untuk membalikkan peningkatan pengayaan uranium yang melanggar perjanjian nuklir negara-negara maju pada 2015. Gedung Putih telah keluar dari perjanjian itu pekan lalu dan telah memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.
“Pasar masih terjebak di antara kekhawatiran akan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingginya risiko geopolitik terkait Iran,” ujar Analis Price Future Group di Chicago.
Sementara itu, kenaikan harga minyak dibatasi oleh perang dagang AS-China yang menggerus prospek pertumbuhan ekonomi global.
Rencananya, dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu akan kembali melakukan negosiasi perdagangan pekan ini. Namun, sinyal berkurangnya perbedaan antara kedua pihak masih sedikit.
Pada Selasa (9/7) kemarin, proyeksi bulanan Badan Administrasi Informasi Energi AS memangkas proyeksi permintaan minyak global sebesar 150 ribu barel menjadi 1.07 juta barel per hari (bph). Revisi ini telah dilakukan selama enam bulan berturut-turut.
Informasi EIA memperkuat proyeksi pertumbuhan konsumsi bahan bakar global yang akan di bawah ekspektasi serta pelemahan ekonomi global. Kondisi itu disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian dan meningkatnya sinyal pelemahan ekonomi global.
“Ini karena perang dagang dan tarif,” ujar Pimpinan Lipow Oil Associated di Houston.
Menurut Lipow, belum ada progres dari sengketa dagang AS-China.
“EIA melihat berbagai hal dan melakukan penyesuaian dengan merevisi ke bawah proyeksinya,” ujar Lipow.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Kumparan
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]