Kisruh Politik Memuncak, PM Papua Nugini Resmi Mundur

Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O’Neill, resmi mundur setelah mengajukan surat pengunduran diri pada Rabu (29/5), di tengah kisruh politik yang meningkat di negaranya.

“Pada pukul 09.35 pagi ini, saya mengantarkan kepada Yang Mulia Gubernur Jenderal (Sir Robert Dadae) surat pengunduran diri saya,” kata O’Neill di gedung parlemen, Port Moresby.

O’Neill sudah memutuskan mengundurkan diri pada Minggu (26/5), setelah serangkaian pembelotan politik tingkat tinggi yang menggerus kepemimpinannya.

Pembelotan terjadi tak lama setelah O’Neill menandatangani kesepakatan proyek gas alam cair senilai US$13 miliar dengan perusahaan minyak asal Perancis, Total, dan perusahaan ExxonMobil yang berbasis di AS.

Menteri Keuangan Papua Nugini, James Marape, adalah pejabat kabinet senior pertama O’Neill yang mengundurkan diri. Marape mundur sebagai bentuk protes atas keputusan O’Neill terkait kesepakatan proyek gas tersebut.

Marape menilai keuntungan dari kesepakatan itu tidak akan mengalir ke rakyat Papua Nugini, perusahaan lokal, maupun daerah.

Ia merujuk pada kesepakatan serupa dalam satu dekade terakhir yang dinilai gagal membawa keuntungan bagi negara yang hingga kini 70 persen penduduknya tak memiliki akses listrik memadai.

Menjabat selama delapan tahun, O’Neill banyak dikritik oposisi karena korupsi dalam pemerintahan dan keterpurukan ekonomi negara yang kronis.

Terlepas dari keterpurukan itu, dalam pidatonya O’Neill mengungkap salah satu prestasinya selama menjabat sebagai PM, yakni menjadikan Papua Nugini sebagai tuan rumah KTT APEC pada 2018 lalu.

“Kami selalu dikenal karena alasan-alasan yang salah,” kata O’Neill seperti dikutip AFP.

O’Neill sebenarnya telah berjanji mundur lebih cepat, tapi hal itu tak jadi dilakukannya. Ia malah sempat memutuskan menggunakan jalan pengadilan untuk mempertahankan kekuasaan.

Langkahnya itu memicu kemarahan parlemen pada Selasa (28/5). Konfrontasi bahkan sempat terjadi di parlemen antara pendukung dan oposisi O’Neill.

Sementara itu, pemungutan suara untuk memilih pengganti O’Neill diperkirakan baru akan berlangsung dalam beberapa hari mendatang.

Sejumlah analis menganggap kepergiaan O’Neill dari pemerintahan dapat mengakhiri proyek infrastruktur berbiaya besar yang diyakini banyak orang hanya menguntungkan segelintir elite negara.

“Kepergiaan O’Neill memiliki potensi membuat perubahan besar dalam arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah Papua Nugini,” kata pengamat politik dari Universitas Daekin Melbourne, Jonathan Ritchie.

“Tetapi kecurigaan dari sejumlah pengamat menganggap pengunduran diri O’Neill hanya akan menghasilkan penataan kembali kepemerintahan yang terdiri dari segelintir orang dalam lainnya, anggota lain dari kelas politik Papua Nugini, mengambil alih peran PM dari O’Neill.”

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : ABS-CBN News

 

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *