Trump Berulah Lagi, Harga Minyak Kembali Terperosok

Ancaman perang dagang Amerika Serikat (AS)-China jilid 2 yang muncul tiba-tiba, sukses membuat harga minyak anjlok hingga lebih dari 2% hari Senin (6/5/2019). Pada hari Minggu (5/5/2019) Presiden AS, Donald Trump mengatakan bea impor terhadap produk CHina senilai US$ 200 miliar akan naik menjadi 25% pada Jumat (10/5/2019) mendatang.

Hingga pukul 08:30 WIB, harga minyak jenis Brent anjlok 2,37% menjadi US$ 69,17/barel setelah menguat tipis 0,14% akhir pekan lalu. Adapun harga minyak light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juni amblas 2,7% ke posisi US$ 60,27/barel pasca naik 0,27% akhir pekan lalu.

Harga Minyak Mentah (US$/barel)

Eskalasi perang dagang AS-China yang muncul secara mengejutkan tentu bukan berita baik bagi para pelaku pasar. Apalagi hingga pekan lalu tampaknya perundingan dagang kedua negara masih beraroma positif.

Sebagai informasi, pada hari Selasa (30/4/2019), Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan As, Steven Mnuchin bertandang ke Beijing untuk melakukan dialog tatap muka dengan delegasi dagang China yang dipimpin Wakil Perdana Menteri, Liu He.

Namun pada hari Minggu (5/5/2019) Trump menuliskan sesuatu yang mengejutkan melalui akun Twitter pribadinya.

“Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 juta. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!” tulis Trump.

Bahkan tak hanya produk China senilai US$ 200 miliar yang akan dikenakan bea masuk 25%. Ada produk-produk senilai US$ 325 miliar yang sebelumnya tidak ada bea masuk sama sekali yang juga terancam terkena bea impor 25%.

Bila ancaman Trump benar-benar direalisasi, maka lagi-lagi rantai pasokan global akan terhambat. Mengingat dua negara (AS dan China) tersebut merupakan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.

Perlambatan ekonomi global pun seakan sulit untuk dihindari yang akan berdampak pada permintaan energi. Pasalnya, kala pertumbuhan ekonomi global melambat, otomatis aktivitas industri pun juga lesu. Alhasil pertumbuhan permintaan energi, yang salah satunya berasal dari minyak berpeluang terhambat, bahkan terkontraksi.

Terlebih ancaman tersebut datang pada saat pasokan minyak global juga masih berpotensi meningkat pasca tengah tahun.

Sebagai gambaran, saat ini pasokan minyak global sudah cukup ketat karena adanya kebijakan anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya untuk memangkas produksi.

Awal Desember 2018 silam, OPEC+ (OPEC dan sekutunya) telah sepakat untuk mengurangi produksi hingga 1,2 juta barel/hari sepanjang Januari-Juni 2019.

Sejauh ini OPEC sudah menunjukkan kepatuhan terhadap kesepakatan tersebut. Berdasarkan data Refinitiv, pada bulan April produksi minyak OPEC hanya sebesar 30,23 juta barel/hari yang berarti sudah berkurang 1,64 juta barel/hari dari posisi akhir Desember 2018.

Rusia, walaupun terlihat ogah-ogahan, juga telah mengurangi produksi minyaknya. Pada bulan April produksi minyak Rusia sudah berkurang 70.000 barel/hari menjadi 11,23 juta barel/hari. Namun berdasarkan kesepakatan dengan OPEC, harusnya Negeri Beruang Merang memangkas produksi hingga 11,18 juta barel/hari.

Kebijakan tersebut terbukti mampu mendongkrak harga minyak. Sejak awal tahun 2019, harga Brent dan WTI sudah naik masing-masing sebesar 28,57% dan 32,72%.

Karena sudah dianggap berada dalam kondisi yang ketat, beberapa negara sudah mempertimbangkan untuk meningkatkan produksi. Diketahui bahwa OPEC+ akan menggelar pertemuan guna membahas kelanjutan kesepakatan tersebut pada bulan Juni mendatang.

Bila ternyata kebijakan produksi minyak tak berlanjut, maka pasokan global akan kembali meningkat.

Kombinasi antara peningkatan pasokan dan penurunan permintaan sudah tentu membuat pelaku pasar menurunkan proyeksi terhadap harga minyak. Aksi jual kontrak pun ramai dilakukan untuk menghindari kerugian lebih dalam.

 

 

 

 

 

Sumber : Cnbcindonesia.com
Gambar : aljazeera.com.tr

 

 

 

 

[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *