Pekan Lalu Minyak Dapat Tenaga dari Tanda Damai Perang Dagang
Harga minyak mentah dunia menguat sepanjang pekan lalu. Penguatan utamanya dipicu oleh ekspektasi investor terhadap pembahasan damai perang perdagangan antara Amerika Serikat (AS) – China. Namun, penguatan terbatas oleh kekhawatiran investor terhadap perlambatan ekonomi global.
Dilansir dari Reuters, Senin (14/1), harga minyak mentah berjangka Brent menguat sekitar 6 persen menjadi US$60,48 per barel secara mingguan. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar 7,6 persen menjadi US$51,5 per barel.
Pada Kamis (10/1) lalu, harga minyak mentah acuan global Brent mencatatkan reli selama sembilan hari berturut-turut, terpanjang sejak September 2007. Hal sama juga terjadi pada WTI, mengalahkan rekor pada 2010.
Di awal pekan lalu, ekspektasi investor akan berakhirnya perang dagang AS-China menopang pasar. Pembicaraan selama tiga hari antara dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu berakhir pada Rabu (9/1). Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan langkah konkrit. Kendati demikian, pertemuan antara petinggi kedua negara kemungkinan akan digelar bulan ini.
“Setelah beberapa hari menanjak, pasar hanya mengambil nafas,” ujar Analis Pasar Energi CHS Hedging LLC Tony Headrick di St Paul, Minnesota kepada Reuters.
Di saat bersamaan, pelaku pasar tetap berhati-hati terhadap pelemahan kinerja data indikator ekonomi baru-baru ini yang mengerek kekhawatiran potensi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi global.
Pembuat kebijakan mengatakan kepada Reuters bahwa China berencana memangkas target pertumbuhan ekonominya menjadi ke kisaran 6 – 6,5 persen tahun ini, lebih rendah dari target tahun lalu sekitar 6,5 persen. Hal itu terjadi seiring China yang tengah bersiap untuk menghadapi tingginya tarif impor AS dan pelemahan permintaan domestik.
“Jika kita mengalami perlambatan ekonomi, kinerja minyak mentah akan di bawah ekpektasi mengingat korelasinya dengan pertumbuhan ekonomi,” ujar Manajer Portofolio Frame Funds Hue Frame di Sydney.
Di sisi suplai, pasar minyak telah mendapatkan sokongan dari kebijakan pemangkasan pasokan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatasi kelebihan pasokan di pasar yang muncul pada paruh kedua 2018.
Sumber Reuters menyatakan Rusia telah mengurangi rata- rata produksinya menjadi 11,38 juta barel per hari (bph) pada periode 1 – 10 Januari 2019. Sebagai pembanding, rata-rata produksi minyak mentah Rusia pada bulan lalu mencapai 11,45 juta bph.
Selain itu, turunnya ekspor Iran sejak November 2018 akibat sanksi AS juga turun menopang pasar minyak mentah. Sementara, AS menjadi biang kerok utama dari membanjirnya pasokan minyak mentah di pasar dunia. Pasalnya, produksi AS telah menanjak menjadi 11,7 juta bph.
Konsultan JBC Energy pekan lalu memperkirakan kemungkinan produksi minyak AS akan berada di atas 12 juta bph pada bulan ini. Di sisi lain, perusahaan layanan energi Baker Hughes mencatat perusahaan energi AS memangkas empat rig pada pekan lalu atau menurun selama dua pekan berturut-turut.
Pemangkasan jumlah rig terjadi karena produsen beralih menjadi konservatif pada rencana aktivitas pengeboran 2019 akibat ketidakpastian pemulihan harga minyak mentah.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : Merdeka.com
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]