Utak-atik RAPBN 2019, Dolar Naik & PDB RI pun Turun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 dengan pembaruan asumsi nilai tukar rupiah Rp15 ribu per dolar AS. Usulan ini ia sampaikan dalam rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI usai pemaparan dari Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengenai kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS belakangan.
“Soal kurs, sebetulnya hanya mengonfirmasi sesuai yang dipresentasikan Gubernur BI kemarin. Dari pertemuan IMF-WB, dan pertemuan yang dibahas bersama para menteri keuangan terutama dari negara maju yang punya pengaruh terhadap ekonomi global, kami memahami beberapa informasi yang lebih update,” kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Selasa (16/10/2018).
Menanggapi usulan tersebut, banyak anggota Banggar dari beragam fraksi mempertanyakan keputusan pemerintah mengubah kembali RAPBN 2019, setelah rancangan sebelumnya yang berdasar pada nilai tukar rupiah Rp 14.500 per dolar AS disetujui.
“Saya merasa kecewa dengan penyampaian pemerintah dan Gubernur BI karena ini adalah sebuah pesan yang kurang baik bagi para stakeholders, terutama investor dan publik. Di tengah kontroversi dan hingar-bingar Annual Meetings IMF-WB, justru publik dikejutkan dengan oleh-oleh ketidakpastian sehingga mendorong pemerintah mengajukan perubahan asumsi dari Rp 14.500/US$ yang sudah disepakati jadi Rp 15.000,/US$” ujar Ecky Awal Mucharam dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Menurut Sri Mulyani, perubahan terbaru ini disesuaikan dengan kondisi perekonomian global yang mayoritas melakukan perbaikan ke bawah. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar tiga bulan ke depan, mengutip pernyataan Gubernur Bank Indonesia, diperkirakan akan berada di rentang Rp 14.800 – Rp 15.200/US$.
“Maka dari itu, meski sekarang ada di Rp 15.200, kami menganggap bahwa Rp 15.000 masih mencerminkan angka yang masuk akal antara spot dan Real Effective Exchange Rate (REER) dari rupiah kita,” kata Sri Mulyani.
Selain itu, dari sisi perdagangan internasional, kata mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, pertumbuhan perekonomian global diperkirakan akan mengalami pelemahan dengan volume perdagangan dunia yang hanya mencapai 4%.
Di sisi lain, jika melihat pergerakan mata uang rupiah terhadap mata uang negara lain, Indonesia masih mengalami depresiasi 12,5%. Posisi ini tentu, kata Sri Mulyani, tidak seburuk yang dialami oleh Argentina, Turki, Brasil ataupun Arab Saudi.
Meski demikian, perempuan yang akrab disapa Ani ini mengingatkan jika tekanan terhadap nilai rupiah masih akan berlanjut hingga 2019. Namun, seperti yang disampaikan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, tahun depan akan ada faktor yang lebih positif dibandingkan 2018, terutama pada semester kedua.
Faktor positif yang dimaksud di antaranya adalah harga komoditas ekspor Indonesia, terutama CPO yang mendukung peningkatan keseimbangan perdagangan negara, REER rupiah yang masih belum terapresiasi sehingga masih memiliki potensi menguat, transaksi berjalan pemerintah yang diperkirakan masih akan mengalami defisit meski trennya menurun, dan dampak kebijakan pengendalian impor nasional yang dilakukan pemerintah.
“Ini akan mendukung nilai tukar agar menjadi lebih positif. Ketidakpastian memang masih berlanjut tetapi arahnya masih positif,” kata Perry.
Maka dari itu, Sri Mulyani pun meminta kerja sama dari Badan Anggaran untuk dapat merealisasikan RAPBN ini sebagai undang-undang untuk dijadikan instrumen dalam melindungi perekonomian Indonesia mendatang.
“Memang saya paham sekali dan ini sulit mengenai proses APBN. Namun, menurut kami, DPR dan pemerintah punya kepentingan sama yakni membuat UU yang kredibel. Maka dari itu, pembahasan ini yang kita gunakan,” katanya.
Selain itu, Sri Mulyani juga mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi 2019 menjadi 5,12%. Apa tujuan dari perubahan asumsi-asumsi tersebut?
“Ini kesempatan dan wisdom kita bersama. Mumpung belum ketuk postur apa yang mampu menangkap dinamika sekarang terjadi dan ke depan sehingga bisa memunculkan APBN yang kredibel,” kata Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPR saat Rapat dengan Badan Anggaran, Selasa (16/10/2018).
“Jika ditanya apa kami resah, gundah, atau panik? Justru kami buat ini dalam perasaan tenang,” imbuh Menkeu.
Dijelaskan Sri Mulyani, karena kurs naik ke depan juga suku bunga naik karena normalisasi bunga acuan AS.
“Sehingga kita akan hadapi growth melemah. Penerimaan pajak non migas nanti akan menurun,” tutur Sri Mulyani.
Meski belum mendapat persetujuan dari seluruh anggota Banggar, pimpinan rapat Banggar DPR RI Said Abdullah memutuskan untuk menyetujui sementara usulan RAPBN 2019 berdasarkan asumsi nilai tukar Rp 15.000 dan melanjutkan pembahasan mengenai postur usulan perubahan pada Rapat Panitia Kerja pada hari ini (17/10/2018) pukul 10.00 WIB.
Berikut perubahan asumsi ekonomi makro 2019 yang telah disepakati Banggar:
* Pertumbuhan Ekonomi : 5,3%
* Inflasi : 3,5%
* Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan : 5,3%
* Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$) : 15.000
* Harga Minyak Mentah (US$/Barel) : 70
* Lifting Minyak (Ribu Barel per Hari) : 775
* Lifting Gas (Ribu Barel Per Hari) : 1.250
* Cost Recovery (miliar dolar) : 10,22
Sumber : CNBC Indonesia
Gambar : viva.co.id
[social_warfare buttons=”Facebook,Pinterest,LinkedIn,Twitter,Total”]