Daftar Negara Paling Berisiko Akibat Bahaya Gelombang Panas Ekstrem
Sejumlah negara berada pada risiko paling besar dan amat berbahaya akibat gelombang panas ekstrem efek dari krisis iklim yang semakin intens.
Sejumlah ilmuwan berdasarkan studi terbaru menganalisis kumpulan data temperatur udara sepanjang 60 tahun, termasuk model iklim.
Melansir dari CNN, studi itu dilakukan untuk menghitung kemungkinan terjadinya panas ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya dan wilayah yang bakal terpapar.
Hasilnya, beberapa negara di sejumlah kawasan diprediksi yang paling berisiko besar akibat gelombang panas ekstrem.
Berdasarkan hasil penelitian jurnal Nature Communication, gelombang panas berisiko tinggi terjadi di Afghanistan, Papua Nugini, Guatemala, Honduras, dan Nikaragua.
Negara-negara di kawasan itu amat rentan karena populasi yang berkembang cepat dan akses kesehatan serta suplai energi yang amat terbatas. Kondisi itu akan melemahkan ketahanan para penduduknya terhadap temperatur yang ekstrem.
“Ada bukti di sana bahwa daerah-daerah itu mungkin akan mengalami gelombang panas yang besar dan mereka tidak siap untuk itu,” kata profesor ilmu atmosfer di University of Bristol dan penulis laporan, Dann Mitchell, seperti dikutip dari CNN.
Afghanistan tengah berada dalam krisis ekonomi dan politik usai Taliban mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021.
Negara itu juga memiliki pertumbuhan populasi yang tak sedikit. Pada 2020 jumlah penduduk tercatat 38 juta, sementara pada 2022 jumlah penduduk mencapai 41 juta.
“Ketika gelombang panas yang sangat ekstrem akhirnya datang, maka akan segera ada banyak masalah,” ujar Mitchell.
Sejumlah wilayah saat ini mengalami kenaikan temperatur yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada Maret, sebagian wilayah di Argentina mengalami kenaikan suhu udara hingga 10 derajat Celsius di atas normal.
Begitu pula di sejumlah negara di Asia mengalami rekor kenaikan temperatur yang amat tajam akibat gelombang panas ekstrem.
“Gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya akan semakin intens ketika dunia terus membakar bahan bakar fosil,” tutur ilmuwan iklim dari Grantham Institut untuk Perubahan Iklim, Imperial College London, Friederike Otto.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia