Asa Selepas Konser Tunggal Raisa di GBK
Menggelar penampilan di stadion bisa jadi impian banyak musisi sebagai capaian khusus dalam karier, termasuk Raisa Andriana yang akhirnya rampung menggelar konser tunggal di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta pada Sabtu (25/2) lalu.
Penampilan di stadion megah dan bersejarah di Indonesia itu bukan hanya menjadi beban tersendiri karena harus menampilkan katalog terbaik, tapi juga setelah drama kepastian penggunaan SUGBK untuk konser yang tak jelas.
Ambisi Raisa sejak jauh-jauh hari itu dan impian menjadi solois perempuan Indonesia untuk konser tunggal di GBK jelas tak bisa dianggap enteng. Apalagi puluhan ribu penggemarnya, YorRaisa, akan menjadi saksi pencapaian impian itu.
Pihak Juni Concerts dan Northstar Entertainment sebagai penyelenggara juga tampaknya habis-habisan membantu Raisa dan para YourRaisa menunaikan impian itu dalam Raisa Live in Concert SUGBK.
Produksi panggung yang memukau menjadi hal yang merebut perhatian utama saya semenjak duduk nyaman di tribun. Akustik bangunan cagar budaya itu tampaknya memang paham bagaimana meningkatkan daya magis konser dan meredam teriakan para penggemar.
Raisa yang muncul sekitar pukul 19.45 WIB dengan busana serba biru, melenggang cantik membawakan tembang Berdamai. Tanpa banyak bicara, ia langsung meneruskan set menuju Biarkanlah dan Pergilah, membiarkan penonton mengiringinya tanpa perlu arahan.
Pada momen itulah, panggung milik Raisa menunjukkan tajinya dan seluruh tim produksi dan kreatif layak mendapatkan pujian atas hal tersebut. Pada lagu Biarkanlah, tata cahaya panggung berpendar berirama mengikuti ritme dan ketukan lagu dari album Handmade tersebut.
“Buset, ini mah seluruh biaya produksi sudah bisa buat membeli Kylian Mbappe,” ujar saya yang sebenarnya tak pernah merasa nyambung dengan materi Raisa ini dalam hati, melihat megahnya panggung malam itu.
Setelah tembang ketiga dimainkan, Raisa akhirnya menyapa penggemar. Ia bercerita bagaimana impiannya ini akhirnya menjadi kenyataan. Tak lupa, Raisa pun curhat seluruh perjuangan ia dan timnya untuk bisa menunaikan janji konser di GBK di hadapan para penggemarnya.
“Pas dengar kabar kalau ‘Wah ini GBK enggak bisa dipakai bla bla bla’, aku tuh rasanya kayak ‘Serba Salah’ dan bertanya ‘Apa Lagi Salahku’, gitu,” curhat Raisa sedikit bercanda sebagai jembatan ke nomor Serba Salah.
Pada saat itulah, saya menyadari Raisa kini sudah menjelma menjadi seorang penampil sejati di karier bermusiknya yang sudah 12 tahun. Ia paham bagaimana caranya memiliki panggung yang memang sepatutnya ia miliki, seorang diri.
Setelahnya, interaksi ia dan penonton pun jadi lebih hidup dan luwes. Malam itu, SUGBK benar-benar menjadi milik Raisa dan YourRaisa.
Tampak jelas bagaimana Raisa melepaskan seluruh rasa penat dan lelahnya, untuk menghidupkan nilai dan pesan yang kerap ia sampaikan pada lagu-lagunya: penerimaan diri.
Suasana yang ia bangun menjadi tampak jujur dan tanpa tendensi bahwa lirik-lirik lagunya memang ramah untuk industri. Lagu demi lagu yang ia tampilkan tak terasa melelahkan, terlebih bagi saya yang merupakan pendengar pemula Raisa.
Meski secara musikalitas masih tidak terlalu nyetel dengan karya Raisa, saya paham betul bagaimana ikatan antara Raisa dan YourRaisa terbentuk secara alami dari konser malam itu.
Di tengah penampilan, Raisa juga sempat menyisipkan beberapa kolaborasi kejutan bersama Afgan untuk tembang ikonis berjudul Percayalah. Tak hanya itu, prodigy Isyana Sarasvati juga Raisa hadirkan untuk bermain piano dan berduet apik untuk Nyawa dan Harapan.
Aksi kolaborasi itu dipuncaki dengan Raisa yang mengajak para sahabatnya untuk naik panggung. Mulai dari Afgan, Vidi Aldiano, hingga Isyana Sarasvati diperkenalkan kembali oleh Raisa dan mereka bersama-sama menyanyikan lagu Anganku dan Anganmu secara bergantian.
Tentu sebuah gestur yang baik saat Raisa bersyukur akan arti persahabatan. Namun bagi saya, hal itu hanyalah sebagai gimik macam di televisi yang tak terlalu berarti. Namun itu tak mengapa, toh penonton tetap menikmati momen itu.
Gimik-gimik serupa juga hadir lagi di jelang akhir set. Entah atas dasar apa, Raisa sempat mengajak penonton naik panggung untuk menelepon mantan dan menyambungkannya ke lagu Mantan Terindah, untuk dinyanyikan bersama-sama.
Memang, formula-formula itu berguna untuk menghidupi pertunjukan seorang penampil arus utama. Namun sekali lagi, bagi saya Raisa tidak perlu repot-repot menyiapkan adegan semacam itu hanya demi menghidupi lagu-lagunya.
Secara keseluruhan, Raisa tampil begitu bertenaga. Sekitar 26 lagu dibawakan dalam durasi nyaris tiga jam. Setidaknya enam busana berbeda juga ia tampilkan mengiringi lagu-lagunya.
Penampilan itu tentu bukan hal yang mudah dilakukan oleh seorang penyanyi, musisi, atau penampil apapun di hadapan puluhan ribu orang. Sehingga Raisa Live in Concert SUGBK tepat untuk dikenang sebagai momen bersejarah bagi Raisa dan para penggemarnya.
Dengan luaran pertunjukan tunggal semegah itu, Raisa memberikan standar penting dan semoga bisa merangsang penampil lain menggelar hajatan serupa. Karena ketika standar-standar tersebut telah tercipta, maka ekosistem pertunjukan musik yang sehat akan segera terlaksana di Indonesia.
Puncaknya? impian pertunjukan musik berskala stadion tidak hanya menjadi milik para pelakon di arus utama, apalagi cuma di Jakarta. Raisa berhasil menunjukkan bagaimana seluruh orang juga berhak memiliki impian yang serupa.
Sebagai penutup, saya tak ragu mengatakan bahwa konser tersebut – cepat atau lambat – akan segera memuluskan langkah Raisa menuju titel Diva. A new dream to achieve, maybe, Raisa?
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia