Wah! Harga Minyak Diramal Jatuh ke US$ 40/barel 10 Tahun Lagi

Mengawali perdagangan perdana pekan ini, Senin (19/4/2021) Peningkatan kasus Covid-19 menjadi biang keladi gagalnya harga minyak lanjut uptrend.

Harga minyak Brent turun 0,66% ke US$ 66,33/barel sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) terpangkas 0,55% ke US$ 62,78/barel. Harga minyak terindikasi kena aksi ambil untung para trader setelah berhasil menguat 6% lebih minggu lalu.

Minggu lalu harga minyak sukses terapresiasi seiring dengan munculnya kabar baik dari China. Pertumbuhan ekonomi China kuartal pertama disebut tembus 18,3% (yoy). Ini menjadi pertumbuhan tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Selain karena adanya ekspansi kenaikan tajam juga diakibatkan oleh fenomena low based effect mengingat PDB China terkontraksi hampir 7% pada kuartal pertama tahun lalu.

Dana Moneter Internasional (IMF) meramal pertumbuhan ekonomi China bisa menyentuh angka 8,4% tahun ini. Kian kencangnya roda perekonomian China diharapkan membutuhkan bahan bakar tambahan sehingga berpeluang besar meningkatkan kebutuhan minyak sekaligus harga.

Namun tetanggnya India masih terus berkutat dengan kenaikan kasus infeksi Covid-19 yang tak kunjung usai. Dalam sehari ada lebih dari 261 ribu kasus baru di India. Hal ini menjadi sentimen negatif untuk harga minyak.

Menambah sentimen negatif yang juga menekan harga adalah ramalan lembaga konsultan energi global yakni Wood Mackenzie. Lembaga tersebut meramal harga Brent akan jatuh ke US$ 40/barel pada 2030.

Harga minyak Brent akan drop ke level tersebut jika berbagai negara di dunia memegang teguh komitmen untuk mengurangi emisi karbonnya. Hanya saja langkah tersebut cenderung sulit dan tidak dilakukan secara seragam.

Namun dalam laporanrisetnya permintaan minyak akan turun tajam setidaknya mulai 2023 nanti. Permintaan akan turun dengan laju 2 juta barel per hari (bph) hingga mencapai 35 juta bph pada 2050. Angka ini setara dengan penurunan emisi karbon sebesar 60% dari level sekarang.

Konsumsi minyak mencapai rekor tertingginya yaitu 100 juta bph pada 2019 dan anjlok signifikan setahun setelahnya akibat pandemi Covid-19. Namun dengan adanya perbaikan prospek ekonomi tahun ini permintaan minyak diramal bakal rebound.

Penurunan permintaan dan harga ini tentu saja akan berpengaruh pada perekonomian negara-negara eksportir. Namun tak akan terasa sangat signifikan bagi negara-negara anggota OPEC karena biaya produksinya yang terbilang rendah.

 

 

 

 

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Bisnis.com

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *