Balik ke US$ 1.700, Ini Dia Pemicu Emas Jadi Berharga Lagi
Harga emas menguat seiring dengan melandainya imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS dan indeks dolar. Harga emas kembali tembus level psikologis US$ 1.700/troy ons kemarin.
Namun pada perdagangan pagi hari ini harga bullion drop 0,25% ke level US$ 1.711,27/troy ons di arena pasar spot. Volatilitas harga emas memang tinggi belakangan ini. Pasar keuangan sedang bergejolak akibat kenaikan yield surat utang AS.
Kenaikan yield di atas 1,5% membuat opportunity cost memegang emas menjadi lebih tinggi. Maklum emas merupakan aset tak berimbal hasil karena tidak memberikan dividen seperti di saham maupun kupon pada obligasi.
Kendati yield naik secara nominal, tetapi secara riil setelah dikurangi inflasi masih sangat rendah. Sehingga sebenarnya secara fundamental emas masih kuat. Sebagai salah satu aset lindung nilai, ekspektasi inflasi yang tinggi di masa depan secara teoritis seharusnya menguntungkan emas.
Injeksi likuiditas masif ke perekonomian oleh bank sentral dan pemerintah AS membuat pasokan uang beredar naik. Apalagi belakangan ini Senat AS meloloskan RUU stimulus fiskal yang nilainya jumbo yaitu US$ 1,9 triliun.
Hasil pemungutan suara atas paket stimulus itu menunjukkan hasil 50-49. Sebelumnya House of Representative (DPR) juga sudah menyetujui stimulus tersebut. Namun di saat yang sama harga emas juga masih dibayangi oleh duet maut yaitu dolar AS dan yield obligasi.
Adanya stimulus diharapkan bisa meningkatkan perekonomian Paman Sam. Ketika perekonomian bangkit dan ada inflasi, peluang peningkatan suku bunga menjadi terbuka. Ketika hal ini terjadi opportunity cost memegang emas akan menjadi semakin tinggi.
Selain soal suku bunga, The Fed yang selama ini juga sudah mencetak uang senilai triliunan dolar AS bakal menyerap kembali likuiditas di pasar lewat taper tantrum. The Fed akan menukar kembali aset-aset keuangan yang dibelinya dengan dolar AS yang pernah dicetak. Inilah yang dikhawatirkan oleh pelaku pasar.
“Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul,” kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).
Taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013-2015, saat itu indeks dolar AS melesat tajam. Emas saat itu menjadi salah satu korbannya. Hanya saja jika mengacu pada keterangan bos The Fed Jerome Powell dalam berbagai kesempatan, pengetatan moneter dalam waktu dekat termasuk tindakan yang prematur.
Ke depan harga emas masih akan volatil. Ketika harga emas mengalami koreksi tajam dalam satu waktu, inilah momen yang tepat bagi para trader untuk mengambil posisi beli sehingga berpotensi memperoleh cuan ketika harga emas mengalami kenaikan walau secara temporer.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Market Bisnis.com