Dulu Dipuja Kini Nyaris Dicuekin, Tragis Nasib Emas
Tahun 2020 menjadi masa kejayaan emas. Harga logam mulia tersebut naik 25%. Namun tahun 2021 baru berjalan dua bulan, harga emas malah terpelanting. Apa yang menyebabkan harga emas drop 6% lebih tahun ini? Masihkah emas menjadi aset yang menarik?
Level US$ 1.950/troy ons menjadi resisten kuat bagi bullion. Di tahun ini, emas tercatat hanya satu kali berada mendekati level tersebut, yakni pada 5 Januari lalu. Setelah itu emas cenderung terkoreksi.
Bahkan emas sudah dua kali drop ke bawah US$ 1.800/troy ons. Pertama pada awal Februari dan kedua belakangan ini. Kendati harga emas di pasar spot menguat 0,21% pada perdagangan pagi hari ini, Kamis (19/2/2021), si logam kuning masih di bawah US$ 1.800/troy ons.
Pada 09.00 WIB, harga logam mulia emas dibanderol di US$ 1.779/troy ons.
Program vaksinasi Covid-19 secara masal yang dilakukan di berbagai negara di dunia menumbuhkan optimisme bahwa ekonomi akan pulih. Walaupun sebenarnya vaksinasi masih jauh dari sasaran target dan kecepatannya berbeda-beda setiap negara.
Emas adalah salah satu aset yang banyak dipegang ketika kinerja ekonomi sedang tidak baik. Resesi global yang terjadi di tahun 2020 akibat krisis kesehatan membuat minat investor terhadap aset ini meningkat.
Apalagi kebijakan makro yang akomodatif lewat fiskal ekspansif dan moneter ultra longgar membuat pelaku pasar mengantisipasi adanya inflasi yang tinggi. Sebagai aset lindung nilai terhadap devaluasi mata uang emas menjadi primadona.
Namun secara perlahan dolar AS mengalami technical rebound setelah tertekan hebat tahun lalu. Perlahan-lahan imbal hasil nominal obligasi pemerintah terutama AS yang bertenor 10 tahun juga naik.
Di sepanjang 2020 imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS yang juga merupakan salah satu aset minim risiko jatuh ke bawah 1%. Jika inflasi di Paman Sam 1,4% maka imbal hasil riilnya minus 0,4%.
Emas sebagai aset tak berimbal hasil menjadi jauh lebih menarik karena opportunity cost memegang bullion menjadi rendah. Namun imbal hasil nominal tersebut sudah mulai terlihat naik.
The Fed sebagai otoritas moneter masih akan tetap mempertahankan suku bunga rendah untuk beberapa tahun ke depan. Setidaknya suku bunga di zona effective lower bound (ELB) akan ditahan sampai 2023.
The Fed pun masih akan mengguyur sistem keuangan dengan likuiditas melalui program pembelian aset atau yang lebih dikenal dengan kebijakan quantitative easing (QE). Dalam sudut pandang lain, bank sentral paling powerful di dunia itu masih akan terus mencetak uang sehingga aset di neracanya (balance sheet) akan menggembung.
Hanya saja risk appetite investor juga ikut membaik. Mereka yang tadinya cari aman lewat emas kini mulai meninggalkan si logam kuning dan beralih ke aset lain yang lebih berisiko dan memberikan cuan lebih tebal.
Saham-saham teknologi AS menjadi pilihan. Baru-baru ini primadonanya adalah aset digital seperti cryptocurrency. Harga Bitcoin sebagai salah satunya bahkan tembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Satu unit Bitcoin malahan sempat dihargai US$ 50.000.
Faktor inilah yang membuat harga emas tertekan. Konsensus pasar terpecah soal prospek emas di tahun kerbau logam ini. Ada yang masih bullish karena lingkungan makro yang mendukung. Namun tak sedikit pula yang bearish.
Salah satu yang bearish adalah bank investasi global Morgan Stanley. Bank Wall Street tersebut memperkirakan harga emas bisa tembus ke bawah US$ 1.800/troy ons jelang akhir tahun 2021.
Ternyata tak butuh waktu lama, di bulan Februari saja harga emas sudah melorot dari level tersebut. Faktor teknikal dan aksi spekulasi pelaku pasar membuat tekanan jual emas meningkat. Harga si logam kuning pun terbebani.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Radar Solo