Dolar AS Loyo & Bitcoin Ambrol, Emas Siap Tancap Gas
Harga emas di pasar spot menguat pada pagi hari ini, Rabu (13/1/2021). Dolar AS yang mulai kendor memberi momentum emas untuk naik. Di saat yang sama, Bitcoin yang belakangan menjadi saingan emas anjlok signifikan alias crash.
Harga emas dunia menguat 0.13% ke US$ 1.858,96/troy ons. Indeks dolar yang menjadi tolok ukur greenback drop 0,41%. Emas sempat anjlok dari level tertingginya dalam dua bulan saat indeks dolar mengalami technical rebound dan menyentuh level 90.
Emas dan dolar AS punya korelasi negatif yang kuat. Artinya saat dolar AS menguat harga emas cenderung melemah, begitu juga sebaliknya. Emas memang ditransaksikan dalam dolar AS, sehingga penguatan dolar AS akan membuat emas menjadi lebih mahal terutama bagi investor lain yang tidak memegang mata uang tersebut.
Kemudian penguatan dolar AS mengindikasikan adanya kemungkinan bahwa pasar melihat prospek perekonomian yang lebih bagus ke depan. Kecenderungan penguatan dolar AS juga mencerminkan kebutuhan likuiditas yang tinggi seperti halnya yang terjadi saat pasar anjlok pada Maret tahun lalu.
Sejarah historis penggunaan emas sebagai salah satu tools moneter juga turut membentuk hubungan antara dolar AS dan emas. Tren pelemahan mata uang Paman Sam juga dikaitkan dengan potensi inflasi yang tinggi sehingga investor beralih untuk memegang bentuk uang lain yang bisa digunakan untuk lindung nilai, dalam hal ini emas.
Permintaan emas selain untuk perhiasan dan berbagai aplikasi industri lain ditopang oleh kebutuhan sebagai salah satu kelas aset untuk diversifikasi dalam investasi. Namun minat investor terhadap emas sangat bergantung pada biaya peluang (opportunity cost) memegang aset minim risiko lain seperti obligasi pemerintah.
Di pasar obligasi, kenaikan yield surat utang pemerintah AS terutama untuk tenor 10 tahun yang sering jadi acuan juga membebani harga emas. Imbal hasil nominal obligasi pemerintah AS tenor tersebut naik ke 1%, setelah sekian lama tertekan dan sempat turun ke bawah 0,5%.
Kenaikan imbal hasil nominal tersebut turut menekan harga emas, meski sejatinya jika dikalkulasi lebih lanjut imbal hasil riilnya masih negatif karena inflasi di AS 1,2%. Hal inilah yang membuat emas masih punya peluang menguat saat dolar AS mulai kendor dan yield obligasi menurun.
Volatilitas Bitcoin yang tinggi juga menjadi risiko bagi para investor. Setelah menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah (all time high), kini harga aset spekulatif Bitcoin mulai menunjukkan tanda-tanda crash.
Bitcoin tidak hanya dilirik oleh investor ritel saja. Adanya tren adopsi teknologi digital yang semakin kencang di kalangan masyarakat global terutama saat pandemi Covid-19 membuat prospek mata uang digital menjadi cerah.
Inilah salah satu alasan mengapa banyak yang bertaruh lewat Bitcoin selain untuk lindung nilai dari kemungkinan inflasi tinggi akibat kebijakan moneter akomodatif dan fiskal ekspansif. Peran Bitcoin sebagai aset untuk hedging memang menyaingi emas.
Saat harga emas terkoreksi dan ada aliran dana keluar (outflow) dari produk investasi dengan underlying emas berupa Exchange Traded Fund (ETF) senilai hampir US$ 7 miliar kuartal akhir tahun lalu, investor terutama institusi mulai memarkirkan uangnya ke Bitcoin. JP Morgan mencatat ada inflow sekitar US$ 3 miliar ke Bitcoin.
Namun karena bersifat spekulatif dan volatilitasnya tinggi dan kini harganya anjlok signifikan, emas masih menjadi aset yang minim risiko meski tidak memberikan imbal hasil seperti dividen pada saham dan kupon pada obligasi.
Sehingga secara keseluruhan dengan kebijakan makroekonomi yang masih akan akomodatif, valuasi saham yang sudah terbilang ketinggian, volatilitas Bitcoin yang tidak karuan hingga imbal hasil obligasi riil yang banyak jatuh ke teritori negatif masih menguntungkan bagi emas.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : Bisnis.com