Belum Ada Konsensus dari OPEC+, Harga Minyak Makin Ambrol
Usai melemah dua hari beruntun di pekan ini, harga kontrak minyak mentah masih lanjut terkoreksi. Penundaan pertemuan para kartel yang dikenal dengan OPEC+ dibarengi dengan kenaikan stok minyak mentah AS membuat harga tertekan.
Pada Rabu (2/12/2020) harga kontrak futures minyak mentah ambles lebih dari 1% dibanding posisi penutupan perdagangan kemarin. Kontrak Brent drop 1,22% ke US$ 46,84/barel sementara kontrak West Texas Intermediate (WTI) ambles 1,37% ke US$ 43,94/barel.
Harga minyak mulai mengalami tren koreksi setelah melesat secara signifikan sebulan lalu. Di sepanjang November harga kedua kontrak minyak mentah ini telah meroket lebih dari 25%.
Kabar buruk pertama yang menghantam harga minyak datang dari Paman Sam. Asosiasi industri minyak AS atau yang lebih dikenal dengan sebutan API melaporkan stok minyak mentah AS bertambah 4,1 juta barel pekan lalu.
Padahal menurut jajak pendapat Reuters, para analis memperkirakan stok justru akan berkurang sebanyak 2,3 juta barel untuk periode yang berakhir pada pekan lalu. Data resmi dari pemerintah yang akan diumumkan oleh EIA dirilis hari ini waktu setempat.
Selain menunggu rilis resmi EIA, pasar juga menyorot OPEC+. Sebelumnya kelompok kartel minyak ini dijadwalkan bakal berunding mengenai kebijakan produksi minyak untuk tahun 2021.
Namun pertemuan tersebut diundur dari yang tadinya Selasa menjadi Kamis pekan ini. Rumor yang beredar diskusi antar anggota OPEC+ berjalan dengan alot. Masih belum ada konsensus terkait kebijakan produksi untuk tahun 2021.
Sebagai gambaran pakta pemangkasan produksi minyak sebesar 7,7 juta barel per hari (bph) atau setara dengan hampir 8% output global akan berakhir pada Desember ini. Per Januari 2021 OPEC+ hanya akan memangkas produksi sebanyak 5,7 juta bph. Namun ini adalah pakta awal.
Seiring dengan berjalannya waktu kondisi pun berubah. Banyak negara-negara barat yang dilanda gelombang kedua Covid-19 sehingga harus kembali memilih lockdown. Di tengah lesunya mobilitas pasar malah kebanjiran pasokan dari Libya.
Pasca pembukaan blokade ladang minyak Libya, output negara tersebut terus naik hingga 1,2 juta bph. Selain itu kebijakan pemangkasan produksi minyak Norwegia juga akan kadaluwarsa akhir tahun ini. Hal ini semakin menambah tekanan OPEC+ untuk menunda meningkatkan produksi.
“Risiko aliansi OPEC + gagal mencapai kesepakatan tinggi,” kata analis ANZ dalam sebuah catatan pada Rabu, sebagaimana diwartakan Reuters.
Virus yang muncul kembali telah menyebabkan pembatasan perjalanan meningkat di seluruh Eropa dan AS dan surplus pasokan di pasar bisa setinggi 1,5 hingga 3 juta bph pada paruh pertama tahun depan. Skenario ini bisa terjadi jika OPEC+ tidak memperpanjang pemangkasan produksi minyak.
Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : TrenAsia