Kritis, Kala Resesi Selimuti Ekonomi Raksasa Afrika Nigeria

Bak jatuh tertimpa tangga, lebih dari 200 juta masyarakat Nigeria akan jatuh ke dalam kemiskinan akibat pandemi virus corona (Covid-19). Pandemi juga membuat harga minyak anjlok, mendorong salah satu negara ekonomi terbesar di Afrika ini jatuh ke dalam lubang resesi.

Meski harga minyak sedikit naik, prospeknya juga akan tetap suram untuk sebab minyak mentah menyumbang sekitar 90% dari pendapatan valuta asing dan setengah dari pendapatan pemerintah di Nigeria.

Bank Dunia sempat melaporkan jumlah orang miskin di Nigeria diperkirakan akan meningkat sekitar dua juta sebagian besar karena pertumbuhan populasi. Namun dengan adanya pandemi, jumlahnya bisa meningkat menjadi 7 juta.

Kini, dengan adanya resesi, produk domestik bruto (PDB) Nigeria menyusut pada kuartal kedua berturut-turut sebesar 3,62%. Dengan kontraksi PDB, Shubham Chaudhuri, Country Director World Bank untuk Nigeria, mengatakan pendapatan per kapita Nigeria dengan basis yang disesuaikan dengan inflasi bisa sama seperti keadaan tahun 1980.

“Ini benar-benar saat yang sangat kritis,” kata Chaudhuri pada Selasa (24/11/2020), dikutip dari AFP.

Aurelien Mali, analis di Moody’s, mengatakan keadaan resesi ini akan semakin membuat para kaum muda di Nigeria frustasi. Hal ini dibenarkan ketika pada Oktober lalu, beberapa ribu anak muda Nigeria turun ke jalan dalam untuk berunjuk rasa.

Awalnya menentang kekerasan polisi, protes yang dipimpin pemuda ini dengan cepat berkembang menjadi demonstrasi anti-pemerintah. Meski gelombang kerusuhan dan intervensi kekerasan oleh tentara berhenti, rakyat muda tetap tidak merasa puas dengan pemerintah.

“Tampaknya penduduk akan menunjukkan rasa frustrasinya, khususnya kaum muda, selama beberapa tahun mendatang,” kata Mali.

Pemerintah memang berusaha untuk mereformasi dan meredam guncangan ekonomi akibat pandemi. Namun, menurut masyarakat, pemerintah tidak melihat bencana yang datang ketika aturan penguncian (lockdown) nasional selama lima minggu dilakukan.

Joseph Olaniyan (30), guru bahasa Prancis yang bekerja di berbagai sekolah swasta di ibu kota Abuja, mengatakan ia tidak memiliki penghasilan selama enam bulan terakhir, sejak April hingga September, akibat penutupan sekolah.

“Rasanya kami telah mengalami resesi sejak awal tahun,” katanya. “Uang yang bisa saya hasilkan selama lockdown juga hanya untuk terus berjalan, membeli makanan dan membayar listrik.”

 

Sumber : cnbcindonesia.com
Gambar : CNBC Indonesia

BAGIKAN BERITA INI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *