Tertekan Virus Corona, Garuda Putus Kontrak 700 Karyawan
Maskapai Nasional PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk akan memutus kontrak dengan 700 karyawan yang sejak Mei lalu telah dirumahkan.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra menyebut pemutusan kontrak lebih awal diambil karena perusahaan mengalami kesulitan keuangan.
Keputusan berat tersebut harus diambil perseroan, lanjutnya, demi memastikan keberlangsungan perusahaan yang telah mengalami kemerosotan permintaan sejak pandemi masuk RI pada Maret lalu.
“Kebijakan tersebut mulai berlaku tanggal 1 November 2020 kepada sedikitnya 700 karyawan berstatus tenaga kerja kontrak yang sejak Mei 2020 lalu telah menjalani kebijakan unpaid leave, imbas turunnya demand layanan penerbangan pada masa pandemi,” ujar Irfan dikutip dari keterangan resmi, Selasa (27/10).
Irfan memastikan Garuda Indonesia akan memenuhi seluruh hak karyawan yang terdampak sesuai dengan peraturan yang berlaku, termasuk pembayaran di awal atas kewajiban Perusahaan terhadap sisa masa kontrak karyawan.
“Kebijakan tersebut merupakan keputusan sulit yang terpaksa kami ambil setelah melakukan berbagai upaya penyelamatan untuk memastikan keberlangsungan perusahaan di tengah tantangan dampak pandemi covid-19,” lanjutnya.
Sejak awal, klaim Irfan, kepentingan karyawan merupakan prioritas utama yang dikedepankan perusahaan. Ketika maskapai lain mulai mengimplementasikan kebijakan pengurangan karyawan, kata dia, perseroan juga terus berupaya mengoptimalkan langkah strategis guna memastikan perbaikan kinerja demi kepentingan karyawan dan masa depan bisnis perusahaan.
“Namun demikian pada titik ini, keputusan berat tersebut terpaksa harus kami tempuh di tengah situasi yang masih penuh dengan ketidakpastian ini,” ucap Irfan.
Demi menopang masalah keuangan yang mendera perusahaan pelat merah ini, pemerintah akan menyalurkan dana talangan sebesar Rp8,5 triliun pada akhir tahun ini. Dana diusulkan Irfan dalam bentuk Mandatory Convertible Bond (MCB) atau obligasi konversi.
Ia menuturkan obligasi konversi itu diusulkan memiliki tenor tiga tahun, atau jatuh tempo pada 2023. Pertimbangannya, memberikan kesempatan bagi manajemen perusahaan untuk memperbaiki fundamental. Perseroan sendiri telah menyiapkan tiga mekanisme pembayaran jatuh tempo pada 2023.
Pertama, perusahaan akan membayar obligasi konversi tersebut. Kedua, dengan asumsi industri penerbangan sudah membaik, maka perseroan bisa mengambil pinjaman luar negeri untuk membiayai obligasi jatuh tempo tersebut.
Ketiga, obligasi konversi ini diubah menjadi penempatan modal dan memberi kesempatan ke pemegang saham minoritas untuk berpartisipasi.
“Kalau dihitung, kami mintanya (tenor) selama-lama mungkin. Tapi, tiga tahun itu menurut kami mesti diberi kesempatan dan mandat manajemen untuk juga bekerja keras. Kalau lima tahun kami khawatirnya manajemen Garuda ini take it terlalu easy situasinya,” tutupnya.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : BeritaSatu.com