Pak Jokowi, Mohon Terbitkan Perppu Pilkada Demi Jutaan Nyawa
Presiden Jokowi tetap ingin Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan meski pandemi virus corona belum usai dan belum ada vaksin yang bisa dipakai. Pilkada, kata Jokowi, tetap dilanjutkan tetapi harus diiringi dengan protokol kesehatan yang ketat.
Imbauan itu terasa kuat ketika baru saja diucapkan oleh seorang kepala negara. Namun, imbauan itu macam menampar angin belaka.
Ada buktinya. Putra dan menantu Presiden Jokowi, misalnya, justru melibatkan massa saat melakukan pendaftaran Pilkada Serentak 4-6 September lalu.
Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka membawa massa pendukung saat mendaftar ke KPUD Solo, Jawa Tengah. Begitu juga menantu Jokowi, Bobby Nasution saat mendaftar sebagai bakal calon wali kota Medan, Sumatera Utara.
Belum lagi calon peserta pilkada lainnya di berbagai daerah. Ada 316 bakal calon kepala daerah yang melanggar protokol pencegahan virus corona. Bisa saja ada yang belum tercatat.
Urgensi Perppu
Presiden Jokowi jelas perlu menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tentang pilkada yang baru. Perppu tersebut harus mengatur tentang sanksi tegas kepada para pelanggar protokol kesehatan, terutama calon kepala daerah, selama tahapan pilkada berlangsung.
Mengapa penting? Karena itu bisa menjadi bukti bahwa Jokowi memang berkomitmen untuk memprioritaskan aspek kesehatan di masa pandemi.
Bayangkan, Pilkada Serentak 2020 akan dihelat di 270 daerah, yakni di 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Terbanyak dalam sejarah pelaksanaan pilkada serentak.
Kemendagri juga menyebut bakal ada sekitar 107,5 juta penduduk yang memiliki hak untuk memilih di TPS pada 9 Desember mendatang. Ratusan juta penduduk itu tentu bukan jumlah yang kecil.
Perlu ada aturan baru tentang sanksi tegas pelanggar protokol corona saat pilkada demi menyelamatkan ratusan juta orang dari ancaman klaster baru pilkada.
Sejauh ini, pelaksanaan pilkada berpijak pada UU Nomor 6 tahun 2020 dan Peraturan KPU No. 10 tahun 2020. Tidak ada sanksi tegas kepada peserta pilkada yang melanggar protokol dalam dua aturan tersebut.
Pada masa pendaftaran 4-6 September lalu, ada 260 pasangan yang melanggar protokol. Tapi tak diberi sanksi tegas. Tetap diterima sebagai pendaftar.
Sebenarnya, KPU bisa memuat aturan sanksi tegas kepada peserta pilkada yang melanggar protokol pencegahan virus corona dalam sebuah peraturan KPU atau PKPU. Akan tetapi, kekuatan hukumnya akan bersifat lemah.
PKPU adalah peraturan turunan dari undang-undang. Apabila undang-undang tidak mengatur soal sanksi tegas, maka PKPU tersebut bisa digugat parpol atau calon kepala daerah ke Mahkamah Agung. PKPU lalu bisa dengan mudah dibatalkan karena tak sesuai dengan UU.
Kemudian, jika KPU memberikan sanksi tegas kepada peserta pilkada tanpa ada perppu baru, partai politik pengusung pasti tidak akan terima. Ketiadaan aturan sanksi dalam UU, tentu akan menjadi alasan mereka untuk menolak pemberian sanksi tegas.
Walau bagaimana pun, KPU akan selalu berada di posisi yang lemah di hadapan publik dan arogansi partai politik.
Tetapi ketika terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pemilu, pasti KPU yang menjadi bulan-bulanan kritik. Padahal mereka hanya menjalankan UU yang dibuat pemerintah dan partai politik.
Nyawa di Atas Segalanya
Kasus positif virus corona di Indonesia masih terus bertambah dari hari ke hari. Alih-alih menurun seperti di mayoritas negara lain, kasus positif di Indonesia juga meningkat lebih tinggi dari bulan-bulan sebelumnya. Kini per hari bisa bertambah lebih dari 3 ribu kasus baru.
Pemerintah mengklaim tingkat kematian cenderung rendah meski kasus positif tinggi dan terus meningkat. Mungkin klaim tersebut benar jika merujuk pada data statistik.
Akan tetapi, ada yang perlu diingat bahwa tidak ada yang bisa menjamin atau menggaransi setiap orang bisa sembuh kembali usai terinfeksi virus corona.
Pemerintah tidak bisa menjamin itu. Dokter paling pandai sedunia tidak bisa menggaransi itu.
Semuanya hanya bisa berusaha merawat semaksimal mungkin tanpa memberikan jaminan tetap hidup kepada pasien corona.
Dengan demikian, langkah terbaik jika pilkada ingin tetap dilanjutkan adalah penerbitan perppu berisi sanksi tegas kepada pelanggar protokol. Kalau perlu sanksi berupa diskualifikasi terhadap peserta pilkada.
Perppu dengan sanksi tegas semacam itu bisa mencegah orang atau peserta pilkada dan timsesnya melanggar protokol corona. Risiko penularan virus corona terhadap 107,5 juta penduduk yang akan menggunakan hak pilih pun bisa diminimalisir.
Sumber : cnnindonesia.com
Gambar : CNN Indonesia